Opini

Bioskop dan Peradaban  

Editor: hasyim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TEUKU KEMAL FASYA Ka UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe

Teuku Kemal Fasya

Teuku Kemal Fasya, dosen Antropologi Universitas Malikussaleh

Bukan tak sengaja jika perjalanan saya awal Februari ini pascariset kepustakaan di International Islamic University Malaysia (IIUM), Gombak, harus berakhir malamnya di Mall Mid Valley. Malam terakhir setelah saya mengeruk referensi untuk "calon disertasi" harus ditutup dengan menonton film di Golden Screen Cinema (GSC) Mid Valley, salah satu yang terbesar di Kuala Lumpur dengan 21 studio. Film yang saya pilih, 1917, telah lama ditunggu. Film epik dengan setting perang dunia I ini mengisahkan satu fragmen menjelang kekalahan Jerman sebagai agresor.

Kisah dalam film ini sebenarnya cukup sederhana, tentang dua prajurit Inggris yang ditugaskan untuk mengirim pesan di batas pertempuran Hindenburg pada operasi Alberich. Dua prajurit Inggris, Kopral Schofield (George MacKay) dan Kopral Blake (Dean-Charles Chapman) yang ditugaskan dengan misi maut yaitu memberikan pesan dari sang jenderal kepada kepada komandan di baris depan pertempuran. Pesan itu sekaligus mencegah abangnya, Letnan Blake, dan 1.600 pasukan lainnya mati sia-sia karena masuk perangkap Jerman.

Film yang mendapatkan penghargaan sebagai film terbaik pada Golden Globe dan nominator Oscar yang akan diumumkan pada 9 Februari 2020 itu memang layak dipuji. Teknik sinematografi, karakter tokoh, dan efek visualnya mengagumkan. Satu yang tidak disangka-sangka adalah pertukaran dari tokoh utama Kopral Blake kepada Kopral Schofield. Haru deru mewarnai pertukaran peran utama ini. Detilnya tidak akan saya ceritakan di sini karena akan kehilangan kejutan bagi yang belum menonton.

Namun di atas semuanya, yang paling membuat saya tak bisa beralih dari tempat duduk untuk ke toilet dan terus fokus adalah pada teknik one-shot camera film ini. Teknik ini musti dilakukan dengan persiapan akting prima dan menghindari kesalahan, baik pada penempatan properti dan aktor-aktor yang terlibat.

Kamera berjalan dari belakang, menyusur ke samping, dan melewati ke depan sang tokoh tanpa putus hingga puluhan menit. Salah satu yang paling menakjubkan ketika kamera mundur bersamaan dua kopral menghindari pesawat yang jatuh terjungkal ke tanah. Bertahun-tahun setelah La La Land (2016), inilah film terbaik yang pernah saya tonton.

                                                                                                                                        Sejarah retak

Apa yang saya ceritakan ini, mungkin juga mewakili ribuan atau puluhan ribu warga Aceh yang memiliki kegemaran menonton film, tapi tak bisa melakukannya karena ketiadaan bioskop di Bumi Seramoe Mekkah. Dulu pernah ada bioskop-bioskop besar seperti Thiong Hwa, Rex, Dewi, Gajah, Merpati, King, Gemeente Bioscoop, dll tapi kini telah hilang ditelan zaman. Bahkan dari penelusuran sejarah, bioskop di Aceh telah ada sejak era kolonial Belanda, dengan nama "Atjeh Bioscoop". Bioskop itulah yang kemudian hari berubah menjadi Garuda Theater.

Masa kecil saya di Kampung Mulia, Banda Aceh, juga penuh dengan memori itu. Ketika tiba pemutaran film baru, mobil pengumuman berkitar di kampung-kampung dengan pengeras suara sekaligus menyebar leaflet. Demikian pula ketika mulai remaja, hari-hari tanpa muhadharah dan pengajian malam di Madrasah Aliyah Program Khusus, saya isi dengan menonton di Gajah XXI atau PAS XXI jika ada kelebihan uang jajan. Film-film terbaik awal 90-an seperti Terminator 2, Pretty Woman, Good Fellas, The Silence of the Lamb, dll saya tonton di bioskop di Aceh.

Kejayaan bioskop di kota-kota Aceh masa lalu menjadi sejarah retak dan lebur begitu saja di dalam tanah saat ini. Dari sejarah itu kita mengetahui bahwa ada banyak dinamika dalam masyarakat tentang film dan budaya. Keberadaan bioskop menjadi penanda tentang reportoir kota yang sehat. Bioskop menjadi ruang publik, ruang rekreatif, dan ruang ilmiah. Film-film yang bagus melahirkan perbincangan di kalangan masyarakat dan bisa dirumuskan menjadi diskursus bermanfaat bagi seni, sinematografi, politik, dan budaya. Jangan heran, ketika Menteri Agama, Fachrul Razi, menyatakan Aceh memerlukan bioskop (Serambi, 1 Februari 2020), harus dilihat dari kacamata positif. Ia sedang mengkomprehensi gagasan bahwa pengembangan industri kreatif seperti bioskop sama sekali tidak bertentangan dengan praktik Syariat Islam. Contoh yang bisa diseru dengan cepat adalah perkembangan kota-kota di Arab Saudi yang semakin megapolitan, termasuk menghadirkan bioskop bagi warganya ("Cinema investment in Saudi Arabia set to hit SR5bn in 2020", Arabnews, 29 Januari 2020).

Negara Arab itu mengeluarkan investasi yang cukup besar hingga 1.3 miliar dollar US untuk mengembangkan bisnis sinema. Masyarakat Saudi telah berubah dan bukan warga nomadik padang pasir. Pemerintah Saudi juga mengantisipasi agar dana masyarakatnya tidak hilang ke negara tetangga karena memilih nonton di bioskop akibat tiadanya bioskop di negara sendiri. Meskipun teknologi Blu-ray dan industri Netflix telah tersedia, tidak bisa menggeser posisi bioskop.

Bioskop tidak hancur seperti industri media cetak yang terjerembab karena adanya media digital. Keberadaan bioskop semakin teguh bahkan semakin inovatif, karena ruang publik dan rekreatif adalah cara masyarakat mengembangkan kualitas hidup secara sosial dan budaya. Hidup bukan semata untuk makan, minum, dan ritual. Hidup juga cara untuk mengembangkan kualitas mental, kultural, dan spiritual. Salah satunya dengan mendapatkan pelajaran dari film-film bagus.

                                                                                                                   Hindari pikiran konspiratif

Tentu bukan berarti ide tentang kehadiran bioskop akan memberikan ancaman pada tatakelola pemerintahan berbasis Syarí. Demikian pula, harus dijauhkan pikiran konspiratif tanpa data dan fakta, bahwa ide membangun bioskop ini sebagai agenda telikung. Jika kita mengikuti wacana warga kota di Aceh, terutama Banda Aceh, menunjukkan ide ini telah bergulir lama.

Halaman
12

Berita Terkini