Opini

Bioskop dan Peradaban  

Editor: hasyim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TEUKU KEMAL FASYA Ka UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe

Di media sosial selalu muncul ungkapan satir dan parodis tentang masyarakat Aceh yang menikmati tontonan yang bermutu, termasuk film-film islami, di luar provinsi. Bahkan pernah muncul anekdot, ketika walikota Banda Aceh, Illiza Saaduddin Djamal, yang tak kunjung menyetujui berdiri bioskop, malah berperan figuran dalam sebuah film. Ia menikmati premier filmnya di Jakarta, bukan di tanah kelahirannya. Sebagai pemimpin, itu bentuk tamparan atas konsistensi sikap, alih-alih bersikap ambivalensi.

Toh, bioskop pernah hidup lama ada di Aceh. Jika alasannya tentang moralitas generasi muda, moralitas masyarakat dulu malah lebih terjaga ketika bioskop masih perkasa. Demikian pula, jika berpikir maksiat, telepon genggam dengan sistem teknologi IOS atau android lebih berhulu mungkarat. Hal-hal yang tidak pernah diimajinasikan masyarakat pra-ponsel hadir di era sekarang, dengan kenakalan, kejahatan, dan kerapuhan moral multidaya.

Maka, hadirnya bioskop tak perlu dipertentangkan dengan norma dan nilai-nilai budaya masyarakat, apalagi di peradaban multiprogresif dan adaptif seperti saat ini. Seperti kritik Herbert Marcuse, manusia bukan entitas satu dimensi. Ia punya banyak dimensi untuk menyelamatkan kehidupan moralnya dengan cara-cara baru dan tak biasa.

Berita Terkini