Pembatasan sosial yang dikenal dengan istilah physical distancing ini diikuti kebijakan darurat sipil.
Laporan Yeni Hardika
SERAMBINEWS.COM – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan tahapan baru untuk perang melawan penyebaran virus corona.
Tahapan baru tersebut, yaitu pembatasan sosial berskala besar dengan kekarantinaan kesehatan.
Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, menyampaikan hal ini melalui akun twitternya, Senin (30/3/2020).
Selain menetapkan pembatasan sosial berskala besar, disebutkan pembatasan sosial yang dikenal dengan istilah physical distancing ini diikuti kebijakan darurat sipil.
“Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi," kata Jokowi.
• Jokowi Bebaskan dan Diskon Tarif Listrik selama Wabah Corona, Ini Rincian Lengkapnya
• Jangan Asal Pakai, Disinfektan Hydrogen Peroxide Justru Sebabkan Iritasi Paru-paru Parah
• Warga Simeulue Berduyun-duyun Pulang Kampung Akibat Corona, Sejak 3 Pekan Terakhir Kapal Padat
Hal ini disampaikannya saat memimpin rapat terbatas dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, lewat video conference dari Istana Bogor, Senin (30/3/2020) sebagaimana kompas.com.
"Sehingga tadi sudah saya sampaikan, bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Jokowi.
Kebijakan yang diputuskan oleh Jokowi ini pun secara cepat direspon oleh masyarakat.
Tagar #TolakDaruratSipil berada di puncak trending topik twitter hingga pukul 10.00 WIB, Selasa (31/3/2020).
Apa itu darurat sipil ?
Bagaimana Mekanisme, dampak dan kondisi Indonesia saat ditetapkan status darurat sipil ?
Arti Keadaan Darurat Sipil
Keadaan darurat sipil merupakan keadaan darurat yang tingkatan bahayanya dianggap paling rendah dalam arti paling sedikit ancaman bahayanya.
Karena tingkatan bahayanya yang dianggap rendah, maka tidak diperlukan operasi penanggulangan yang dipimpin oleh suatu komando militer.
Jika anggota tentara atau pasukan militer diperlukan, kehadiran mereka hanya membantu untuk mengatasi keadaan.
Keadaan darurat sipil dapat terjadi karena berbagai sebab, baik yang bersifat alami, insani, maupun hewani.
Sebab alami ialah sebab yang terjadi akibat bencana alam.
Sebab insani adalah sebab yang terjadi akibat ulah manusia.
Sedangkan sebab hewani ialah bencana yang timbul akibat hewan yang menyebabkan wabah penyakit yang penyebarannya meluas, seperti Corona saat ini.
Selain itu, keadaan darurat sipil bisa saja diterapkan karena timbulnya konflik antar penduduk.
Misalnya konflik antar penduduk hingga menimbulkan korban jiwa yang meluas.
Mekanisme jalannya kondisi darurat sipil
Kondisi darurat sipil pada dasarnya telah ditetapkan oleh pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959.
Undang-undang tersebut diatur oleh Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno pada tahun1959 yang menjelaskan tetang keadaan bahaya.
Dalam aturan ini, ditentukan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi keadaan negara jika negara atau kehidupannya terancam dalam bahaya.
Agar dapat bertindak terhadap bahaya yang dihadapinya, maka diperlukan adanya perubahan dalam susunan pembagian dan sifat kekuasaan negara, serta kedudukan negara terhadap penduduk negeri.
Berdasarkan Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959.
Operasi penanggulangan keadaan tetap berada di bawah kendali dan tanggung jawab pejabat sipil, selaku penguasa tertinggi dalam keadaan bahaya.
Yaitu presiden/panglima tertinggi angkatan perang.
“Penguasaan tertinggi dalam keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa Darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat,” bunyi pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959.
Untuk daerah ditentukan penguasa-penguasanya dalam keadaan bahaya dengan dasar susunannya.
Namun penentuan itu bisa diluar dari susunan tergantung dari suatu keadaan yang setiap waktu dapat berubah
Dalam melakukan penguasaan darurat sipil, presiden atau panglima tertinggi angkatan perang akan dibantu oleh sutu badan.
Mereka terdiri atas Menteri Pertama; Menteri Keamanan/Pertahanan; Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah; Menteri Luar Negeri; Kepala Staff Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara; dan Kepala Staff Kepolisian.
Penguasa Darurat Sipil daerah berhak mengadakan peraturan yang dianggap perlu untuk kepentingan ketertiban atau keamanan di daerahnya di luar dari peraturan perundang-undangan pusat.
Namun, peraturan tersebut tetap tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pusat.
Jika bertentangan, maka peraturan atau tindakan tersebut tidak berlaku.
Kondisi dan Dampak penetapan darurat sipil di masyarakat
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 Bab II tentang Darurat Sipil, dijelaskan bagaimana kondisi dari kebijakan atau aturan dari penerapan status negara tersebut.
Berikut beberapa aturan yang ditetapkan dalam Bab II Pasal 13 hingga 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 yang menunjukkan kondisi dan dampak status darurat sipil bagi masyarakat.
Hal ini sebagaimana dikutip dalam http://hukum.unsrat.ac.id/uu/ perpu_23_1959.htm
1. Penguasa darurat Sipil memiliki kewenangan untuk membatasi pertunjukan, percetakan, penertiban, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan, dan penempelan tulisan-tulisan apapun.
2. Penguasa Darurat Sipil berhak menggeledah tiap-tiap tempat, memasuki, menyelidiki atau membawa orang-orang lain dalam melakukan tugasnya.
3. Penguasa Darurat Sipil berhak mengetahui semua berita-berita serta percakapan yang dilakukan melalui radio atau telepon.
Kemudian melarang atau memutuskan pengiriman berita, melarang pemakaian kode, tulisan dan percetakan rahasia, juga pemakaian bahasa lain selain dari bahasa Indonesia.
4. Penguasa darurat sipil dapat menerapkan aturan untuk membatasi atau melarang pemakaian, serta mengahncurkan alat telekomunikasi yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak.
5. Penguasa Darurat Sipil berhak dan diberikan iizin penuh atau bersyarat untuk mengadakan ketentuan untuk mengadakan rapat-rapat umum yang dapat dikunjungi oleh rakyat umum.
6. Mereka juga memiliki hak untuk membatasi, melarang memasuki atau memakai gedung-gedung, tempat kediaman, lapangan untuk beberapa waktu tertentu.
Namun, larangan tersebut tidak berlaku pada tempat peribadatan, pengajian, upacara agama dan adat serta rapat-rapat pemerintah.
7. Penguasa daruat sipil juga berhak membatasi orang berada di luar rumah, memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai. (*)