Nahdlatul Ulama (NU) menjelaskan sejarah Rasulullah SAW pernah shalat Tarawih di rumah.
Laporan Syamsul Azman
SERAMBINEWS.COM - Beberapa hari lalu, Menteri Agama (Menag) RI, Fachrul Razi, sudah mengeluarkan Surat Edaran (SE).
Ya, SE terkait Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri 1441 Hijriah di tengah pandemi wabah Corona (Covid-19).
Salah satu isi SE Nomor 6 Tahun 2020 itu menyebutkan, "Shalat Tarawih dilakukan secara individual atau berjamaah bersama keluarga inti di rumah,"
Artinya untuk Ramadhan tahun ini, guna mencegah penyebaran virus Corona, maka shalat Tarawih berjamaah di masjid dilarang.
Begitu juga berbabagai kegiatan lainnya di masjid, mushalla di tempat keramaian lainnya juga dilarang, seperti sahur dan buka puasa bersama.
Nah, informasi terbaru terkait agar Tarawih nanti di rumah, Minggu (12/4/2020), Nahdlatul Ulama (NU) menjelaskan sejarah Rasulullah SAW pernah shalat Tarawih di rumah.
• VIDEO - Jadi Relawan Covid-19 di Jakarta, Warga Subuluusalam Atun Cecek Tinggalkan Suami dan Anaknya
• VIDEO - Jalani Perawatan 20 Hari, Pasien Corona di RSUZA Banda Aceh Sembuh dan Boleh Pulang
• VIDEO - Dua Pria Diamuk Massa di Pasar Lambaro Aceh Besar, Diduga Mencuri Uang Warga
Simak penjelasannya berikut ini seperti yang dikutip pada islam.nu.or.id.
Sejarah pelaksanaan shalat tarawih di rumah dapat ditemukan dalam kitab hadits seperti Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, Malik dan Ahmad.
Siti Aisyah RA mengisahkan peristiwa yang terjadi pada 10 malam terakhir Ramadhan.
Kala itu, Rasulullah melakukan shalat tarawih bersama beberapa orang.
Pada malam selanjutnya sebagian sahabat yang tidak ikut pada malam sebelumnya hadir.
Oleh karena itu, shalat Tarawih Rasulullah di masjid diikuti banyak jamaah dibanding pada malam sebelumnya.
Pada malam ketiga, masjid penuh sesak jamaah menanti Rasulullah.
Tetapi Rasul tidak keluar rumah.
Kemudian Rasulullah mengabarkan bahwa beliau mengetahui keinginan para sahabat untuk shalat Tarawih bersamanya.
Tetapi ia khawatir Allah menurunkan wahyu yang berisi perintah shalat Tarawih, sehingga shalat sunnah malam Ramadhan itu menjadi wajib.
Sikap diam diri di rumah menunjukkan rahmat, kasih sayang, dan perhatian Rasulullah SAW kepada umatnya.
“Sungguh, seorang Rasul dari kaummu sendiri telah datang kepadamu, (seorang Rasul yang) merasa keberatan atas kesulitanmu, yang sangat menginginkan (keimanan) bagimu, yang sangat berbelas kasih dan penyayang terhadap orang-orang beriman,” Surat At-Taubah ayat 128.
Sebagian riwayat menyatakan bahwa para sahabat yang tidak sabar melempari pintu rumah Rasulullah SAW dengan kerikil kecil.
Oleh karena itu, Rasulullah terpaksa keluar untuk mengabarkan kekhawatirannya akan turunnya wahyu yang mewajibkan shalat Tarawih untuk umatnya.
Adapun redaksi hadis riwayat Siti Aisyah RA dapat dibaca sebagai berikut:
“Dari Aisyah RA, istri Rasulullah SAW, Rasulullah SAW melakukan shalat (tarawih) di masjid pada suatu malam. Orang-orang bermakmum kepadanya.
Malam berikutnya, Rasulullah SAW kembali shalat Tarawih dan jamaahnya semakin banyak.
Pada malam ketiga atau keempat, jamaah telah berkumpul, tetapi Rasulullah SAW tidak keluar rumah.
Ketika pagi Rasulullah mengatakan, ‘Aku melihat apa yang kalian perbuat.
Aku pun tidak ada uzur yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian, tetapi aku khawatir (shalat tarawih) diwajibkan,” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, Malik dan Ahmad).
Pada riwayat Abu Dawud, Siti Aisyah bercerita bahwa malam itu para sahabat shalat Tarawih di masjid masing-masing.
Sementara ia diminta oleh Rasulullah untuk menyiapkan tikar untuk shalat Tarawih di rumah.
Kepada sahabat, pada paginya Rasulullah mengatakan tidak meninggalkan Tarawih, meski di rumah.
“Wahai sekalian manusia, demi Allah aku semalam alhamdulillah tidak lalai (tidur) dan tidak samar bagiku kedudukanmu (semalam),” kata Rasulullah.
Dari hadis ini, ulama menyimpulkan kebolehan shalat sunnah secara berjamaah.
Tetapi shalat sunnah lebih utama dilakukan secara sendiri-sendiri, kecuali shalat Tarawih.
Ulama juga menyimpulkan kebolehan shalat sunnah di masjid sekalipun shalat sunnah di rumah lebih utama.
Ulama juga menarik kesimpulan atas kebolehan mengikut seseorang untuk berjamaah, meski yang bersangkutan tidak meniatkan shalatnya di awal sebagai imam.
Demikian pandangan mayorias ulama.
(Badruddin Al-Aini Al-Hanafi, Syarah Abu Dawud).
Sejak peristiwa itu Ramadhan berlalu dengan sepi tanpa ada aktivitas shalat Tarawih berjamaah di masjid.
Para sahabat melakukan shalat Tarawih di rumah dan di masjid secara sendiri-sendiri.
Setiap Ramadhan hingga Ramadhan selanjutnya berlangsung demikian hingga Rasulullah wafat.
Malam Ramadhan di era pemerintahan Sayyidina Abu Bakar RA masjid juga sepi dari shalat tarawih berjamaah.
Para sahabat mematuhinya karena tindakan Nabi merupakan hujjah syar'iyyah yang menjadi panduan praktik keberagamaan umat Islam.
Dalam kitab Al-Asyqar, Af’alur Rasul wa Dalalatuha alal Ahkamis Syar’iyyah, karangan Muhammad Sulaiman dijelaskan bahwa tindakan-tindakan Rasul merupakan hujjah syariyyah.
“Tindakan/perbuatan Nabi Muhammad SAW secara umum merupakan hujjah syariyyah atas para hamba Allah karena ia adalah dalil syar’i yang menunjukkan hukum Allah SWT terkait perilaku para hamba-Nya yang mukallaf,”
Situasi lain baru datang di masa pemerintahan Amirul Mukminin Sayyidina Umar bin Khattab.
Ia mengumpulkan masyarakat untuk menghidupi malam Ramadhan dengan shalat Tarawih berjamaah di masjid.
Hal ini dilakukan karena Rasulullah SAW telah wafat, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran turunnya wahyu yang mewajibkan shalat tarawih.
Wallahu a’lam.
• Ini Alasan Tersangka Curi Uang di Pasar Lambaro, Tapi Polisi Ragu Saat Lihat Isi Tas Pelaku
MPU Aceh tidak Sependapat dengan Menag
Sebelumnya diberitakan, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh tidak sependapat dengan Menteri Agama (Menag), Fachrul Razi, yang meniadakan pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah di masjid atau mushalla.
Tetapi shalat Tarawih dilaksanakan di rumah masing-masing pada puasa Ramadhan tahun ini untuk mencegah penyebaran Corona.
Seperti diketahui, Menag RI, Fachrul Razi, mengeluarkan Surat Edaran (SE) terkait Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri 1441 Hijriah di tengah pandemi wabah Corona (Covid-19).
Salah satu isi SE Nomor 6 Tahun 2020 itu menyebutkan, "Shalat Tarawih dilakukan secara individual atau berjamaah bersama keluarga inti di rumah."
SE tersebut juga mengatur bahwa pelaksanaan shalat Idul Fitri yang lazimnya dilaksanakan secara berjamaah baik di masjid atau lapangan, ditiadakan.
Untuk itu diharapkan terbitnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelang waktunya.
"Kalau kita baca surat Pak Menteri Agama, ini bertentangan dengan prosedur kesehatan untuk mencegah penularan virus Corona," ujar Wakil Ketua MPU Aceh, Tgk H Faisal Ali, kepada Serambinews.com, Selasa (7/4/2020).
Sebelumnya, Menurut Tgk Faisal, dalam protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus Corona, setiap orang harus menerapkan pola physical distancing (jarak fisik), termasuk dalam ibadah.
Artinya, pelaksanaan shalat berjamaah masih dibolehkan asal menjaga jarak fisik.
"Menag seharusnya menayakan kepada Menteri Kesehatan, bagaimana cara beribadah yang sesuai dengan prosedur kesehatan untuk mencegah penularan virus Corona.
Jangan di satu sisi, Menteri Kesehatan bilang orang boleh berinteraksi yang penting jaga jarak, tapi di sisi lain Menag melarang orang beribadah di masjid," ujar Tgk Faisal Ali.
Seharusnya, sambung Tgk Faisal, pemerintah jangan mencegah masyarakat beribadah di masjid, tapi mengatur pola atau tata cara beribadah di tengah wabah pandemi Corona.
"Jadi, jangan mencegah, mengatur boleh, bagaimana pelaksanaan ibadah yang sesuai dengan protokol kesehatan dalam kondisi seperti sekarang," tegas pria yang akrab disapa Lem Faisal, ini.
Oleh karena itu, Tgk Faisal Ali yang juga Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh, ini meminta Presiden Joko Widodo menertibkan semua kementerian agar dalam mengeluarkan surat edaran untuk masyarakat harus satu pintu.
Kecuali surat edaran untuk internal masing-masing kementerian.
"Kalau kita melarang masyarakat untuk meniadakan ibadah di masjid, itu tidak ada artinya.
Sebab, pelaksanaan ibadah di masjid masih bisa dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan protokol kesehatan dalam rangka pencegahan penularan virus Corona," ungkapnya.
Bila masing-masing kementerian mengeluarkan surat edaran untuk masyarakat terkait penanganan pencegahan virus Corona, lanjut Tgk Faisal, masyarakat bisa bingung mengaplikasikannya karena ada banyak aturan yang harus dijalankan untuk satu kegiatan.
Di sisi lain, Tgk Faisal Ali juga meminta Pemerintah Pusat agar tidak mengeluarkan satu kebijakan untuk semua wilayah di Indonesia, terutama soal ibadah.
Sebab, tambahnya, masih ada daerah yang memungkinkan melaksanakan ibadah secara berjamaah di tengah pandemi Corona dengan tetap mengikuti protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah. (*)