Belakangan ini, dua pekan terakhir dia harus menyambung hidup dengan menjual barang miliknya.
Dia menjual mangkok dan gelas beberapa hari lalu kepada tetangganya.
Barang itu laku Rp 30.000 yang kemudian dia belikan beras. Dia juga menjual perabotan yang lain, meskipun nilainya tidak seberapa.
Triyata tidak peduli. Dia hanya berpikiran untuk bisa mendapatkan uang, dan bisa makan.
Bahkan beberapa hari terakhir, untuk sarapan, dia memasak biji kluwih yang oleh warga setempat disebutnya kolor.
Biji kluwih itu digodok, dan sebagai pengganti sarapan. Barulah siang harinya, keluarga itu makan nasi.
Terkadang mereka dikasih makan, juga lauk dari tetangga.
"Dua hari sarapan isi kolor. Alhamdulillah, ini dikasih beras. Tadi juga ada orang tua yang tidak saya kenal, ngasih saya uang Rp 20.000. Bisa beli isi ulang gas," ujarnya sambil meneteskan air mata.
Triyata hanya berharap, dirinya bisa terlepas dari jeratan utang 'bank thitil'.
Dirinya masih memiliki tanggungan sebesar Rp 7,8 juta.
Dia berjanji, jika bisa terlepas dari jeratan 'bank tihtil' itu, dia tidak akan ngutang lagi ke mereka.
Selain itu, dia juga ingin mendapatkan bantuan peralatan tambal ban untuk anak keduanya.
Jika anaknya bisa membuka sendiri usaha tambal ban, dia yakin akan ada pemasukan untuk keluarga itu meskipun hanya Rp 20.000 per hari.
Penghasilan itu diharapkannya bisa menyambung hidup.
"Itu impian saya. Saya sampai pernah berpikir untuk bunuh diri. Tapi sama tetangga, saya dimarahi. Dosa."