SERAMBINEWS.COM - Tragedi Simpang KKA Aceh Utara telah 21 tahun berlalu.
Tragedi Simpang KKA ini menjadi salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah konflik bersenjata di Aceh.
Puluhan nyawa melayang.
Dua pihak bersenjata yang terlibat dalam konflik bersenjata ini saling melempar tanggung jawab.
Kedua belah pihak menyalahkan adanya provokator yang memicu terjadinya insiden maut tersebut.
Komandan Korem 011/Lilawangsa menyatakan itu merupakan ujud dari keresahan masyarakat yang terprovokasi isu yang disebarkan para provokator.
Di pihak lain, Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) menyebut peristiwa tersebut sebagai “Pekerjaan provokator yang ingin mengacaukan Aceh, lalu mereka membawa nama Aceh Merdeka.”
Dua berita penjelasan dari pihak keamanan dan pihak GAM itu menyertai berita utama Harian Serambi Indonesia edisi Selasa 4 Mei 1999 dengan judul “Lhokseumawe Banjir Darah, Puluhan Tewas Ditembak”.
• Hari Ini 21 Tahun Lalu, Tragedi Simpang KKA Aceh Utara yang Merenggut Puluhan Nyawa
• Warga Doa Bersama di Simpang KKA
Untuk kepentingan sejarah dan pembelajaran bagi generasi ke depan, insiden ini kembali diturunkan oleh Serambinews.com dalam sebuah topik “Tragedi Simpang KKA”.
Berikut konfirmasi Danrem 011/Lilawangsa dan klarifikasi dari pihak AGAM, yang dimuat harian Serambi Indonesia edisi Selasa 4 Mei 1999.
Danrem: Berawal dari Isu Penyerangan Cot Murong
Serambi-Lhokseumawe
Danrem 011/Lilawangsa menyatakan peristiwa berdarah yang terjadi di Simpang KKA, Kecamatan Dewantara, Senin (3/5) kemarin, merupakan ujud dari keresahan masyarakat yang terprovokasi isu yang disebarkan para provokator.
Menurutnya, para provokator mengisukan bahwa pasukan militer dari Den Rudal 001 Pulo Rungkom dan Brimob Polri akan menyerang Desa Cot Murong, kemarin, berkaitan dengan penculik kan seorang anggota Denrudal, Serka Editia Warman.
Kabarnya, ia diculik massa ketika ikut mendengarkan ceramah Aceh Merdeka, Jumat (30/4) malam pekan lalu, di Cot Murong.
Padahal, jelas Danrem melalui Kapenrem Letda Inf Eddy Heriyanto, tadi malam, pihaknya tidak punya program sama sekali untuk menyerang Cot Murong.
"Karena terpengaruh dengan isu provokator itu, lebih kurang 5.000 massa dari Kecamatan Dewantara sekitar pukul 10.00 WIB berkumpul di Simpang KKA. Mereka menuntut Muspida hadir ke tengah-tengah massa guna mejamin keamanan mereka terhadap rencana penyerangan itu," papar Danrem.
Rombongan Muspida, diuraikan Kapenrem, sedianya akan memenuhi tuntutan tersebut.
Tetapi, Bupati, Kapolres, serta Dandim Aceh Utara tidak mencapai lokasi karena dihadang massa di Krueng Geukueh sehingga mereka kembali ke Lhokseumawe.
Namun, menurut versi masyarakat, para pejabat ini tidak ke lokasi.
Entah karena kesal atas ketidakdatangan pejabat tersebut, sekitar pukul 13.00 WIB massa menuju markas Koramil Dewantara dan melakukan pelemparan sehingga mengkibatkan kaca kantor dan dua unit sepeda motor dinas dibakar serta bendera merah putih, dilaporkan Kapenrem, dirobek-robek massa.
Dalam waktu bersamaan, dilukiskan Kapenrem Letda Inf Eddy, satu SSK Den- 1001 Pulo Rungkom menuju ke lokasi kejadian untuk membantu Yonif 113/JS yang lebih dulu berada di lokasi massa.
Regitu mendekat, pasukan Denrudal dihadang massa sehingga suasana makin panas.
Dalam suasana itu, seorang anggota Denrudal, Letda Art Koridon, mengalami luka pada mulut dan giginya copot akibat dilempari massa.
Danrem memastikan, akibat peristiwa tersebut hingga tadi malam tercatat 19 orang meninggal dan 81 orang mengalami luka-luka.
"Korban yang meninggal dan terluka dievakuasi ke tiga rumah sakit; RS PIM, RSU Arun dan RSU Lhokseumawe,” katanya.
Namun, dalam penjelasannya melalui kapenrem, Danrem tidak menyebutkan secara rinci penyebab korban tersebut meninggal dan terluka.
Namun, masyarakat yang menyaksikan peristiwa itu pasti kan, seluruh korban jatuh akibat "siraman" peluru senjata yang dilepaskan aparat keamanan.
Menjawab Serambi, mengenai asal mula tembakan yang, menurut versi TPF Aceh Utara) mengakibatkan 23 orang tewas dan 95 luka-luka tertembak, Kapenrem tidak dapat memastikannya.
Sebab, pada awalnya aparat melepaskan tembakan peringatan ke udara untuk menenangkan dari arah massa muncul lemparan batu ke arah petugas.
"Namun, tiba-tiba ada tembakan yang mengenai massa. Kami belum dapat memastikan dari mana awal penembakan itu," ungkapnya.
Berkaitan dengan peristiwa itu, Danrem mengimbau kepada segenap lapisan masyarakat agar tidak terpancing ulah provokator yang ingin melihat Aceh kacau dan kemudian memanfaatkan situasi itu untuk kepentingan pribadi dan kelompok nya sendiri dengan menjerumuskan masyarakat ke jurang kehancuran dan saling curiga-mencurigai.(tim)
AGAM : Sebut Tak Ada Kontak Senjata
Serambi – Lhokseumawe
Pihak Penerangan Angkatan Aceh Merdeka (AGAM) kemarin segera mengklarifikasi “Insiden Paloh Lada” yang menimbulkan banyak korban jiwa.
AGAM mengatakan dalam peristiwa itu tidak terjadi kontak senjata serta tak ada anggota AGAM yang terlibat.
Kepada Serambi pada malam usai peristiwa itu terjadi (3/5/1999), pihak AGAM menjelaskan, tragedi berdarah di Desa Paloh Lada, persis di Simpang KKA Lhokseumawe, merupakan “Pekerjaan provokator yang ingin mengacaukan Aceh, lalu mereka membawa nama Aceh Merdeka.”
“Dan dalam aksi itu terlihat banyak ibu rumah tangga dan warga yang tani yang tumplek ke lokasi kejadian.”
AGAM mengaku menurunkan beberapa anggotanya ke lokasi.
“Hasil pantauan kami, ternyata tidak terjadi kontak senjata.”
Menurut data yang dikumpulkan AGAM di lokasi kejadian, korban yang tertembak itu bukan saja warga yang berkumpul di jalan saat terjadi peristiwa berdarah.
Tapi, warga yang baru turun dari bus juga tertembak.
“Malah, ada warga yang ditembak di dalam rumahnya,” kata AGAM.
Menurut AGAM, peristiwa itu merupakan kemarahan tentara atas hilangnya seorang anggotanya dua hari sebelum tragedi berdarah itu terjadi.
Kemudian, kata AGAM, pihak tentara mencarinya ke perkampungan.
Dalam pencarian itu, banyak warga yang disakiti.
Selain itu, AGAM juga melihat provokator dalam aksi kemarin.
“Sekelompok provokator itu sengaja melempar warga dengan batu. Beriringan dengan itu pihak keamanan memberondong warga dengan senjata.”
“Peristiwa ini tidak jauh bedanya dengan tragedi berdarah di Idi Cut,” kata AGAM.
Dalam insiden ini, kata AGAM, aparat keamanan tidak menggunakan gas air mata dan peluru karet.
Tapi langsung menggunakan peluru tajam dan menembak secara membabi buta.
Akibatnya, banyak warga sipil tumbang bermandikan darah.
Menurut hasil pantauan AGAM di lapangan, sampai pada malam peristiwa itu terjadi, masih banyak penduduk desa yang belum kembali ke rumahnya.
Sementara pihak keluarga tak berani keluar mencari anaknya, karena kawasan Pulo Rungkom masih mencekam.
AGAM mengecam keras tindakan aparat keamanan yang menembak warga sipil.(tim)