Laporan Fikar W Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Penyair Mustafa Ismail menggagas dan mengelola acara "Nunggu Beduk" dengan narasumber "orang-orang biasa."
Obrolan dilakukan lewat akun Instagram @moesismail dan dilanjutkan posting di YouTube.
Obrolan ringan dengan orang-orang biasa itu secara live bisa disimak tiap Minggu sore dan Rabu sore pukul 17.00-17.45 WIB.
Disebut "Nunggu Beduk" selain karena jadwalnya persis menjelang berbuka puasa waktu Jakarta dan sekitarnya, juga sebagai bagian dari kegiatan mengisi #BerkaryaDariRumah, di tengah merebaknya serangan Corona.
Menghadirkan narasumber berbagai kalangan, pegiat literasi, penyair, pedagang buku dan sebagainya.
"Konsepnya adalah hidangan inspiratif dari pengalaman orang-orang biasa," katanya mengenai gagasan acara itu.
Ide ini, bermula dari munculnya semangat mengisi channel BangMoes di YouTube. Channel itu dia buat beberapa bulan lalu, niatnya sebagai ruang refleksi terhadap berbagai hal dengan cara yang ringan dan syukur-syukur menghibur.
"Saya mengajak orang-orang biasa untuk ngobrol dan bercerita tentang hal-hal kecil yang dilakukannya di masyarakat dan sekecil apa pun dampaknya. Di tengah segala keterbatasan dan penghambaan pada nilai-nilai material, selalu saja ada orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela dan riang gembira," ujarnya.
• Pemerintah Aceh Diminta Lakukan Evaluasi Menyeluruh Peristiwa Banjir di Aceh
• India Minta Pemerintah Malaysia Ekstradisi Dr Zakir Naik
• Muslim Kirim Bantuan untuk Korban Banjir Bandang Aceh Tengah
Dia juga mengajak ngobrol mereka yang berkarya dengan sungguh-sungguh dan perjuangan yang lebih.
"Saya tidak membicarakan kualitas karya mereka, tapi proses yang mereka jalani, yang justru sering lebih dahsyat dari karya itu sendiri," lanjut Mustafa.
Figur yang pernah diajak gobrol dalam "Nunggu Beduk" adalah J Kamal Farza (penyair dan pengacara), Cak Tarno (pemilik toko buku Cak Tarno, pendiri/pengelola Cak Tarno Institute, pendiri duniasantri.co), Sudiyanto (pegiat literasi, peneliti sejarah, dan pengurus Forum Lingkar Pena), dan Tabrani Yanis (penulis, pegiat pendidikan dan penggerak Ibu-ibu menulis di Aceh).
Akan menyusul Isbedy Stiawan ZA (penyair dan paus sastra Lampung) pada Minggu sore, 17 Mei 2010, dan Mahwi Air Tawar (penyair dan cerpenis) pada Rabu sore, 20 Mei 2020.
Yang diajak ngobrol tidak hanya orang dalam bidang seni dan budaya, tapi bisa berkembang ke bidang-bidang lain, termasuk bidang sosial hingga teknologi. "Sementara ini saya mengajak ngobrol teman-teman yang saya kenal dulu," katanya.
Nama acara "Nunggu Beduk" dirancang selama Ramadhan. Tapi acara ngobrol ini akan dilanjutkan terus pasca Ramadhan, dengan jadwal seminggu dua kali, tiap Rabu dan Minggu.
"Cuma setelah Ramadhan nanti mungkin waktunya tidak lagi sore, tapi malam, pukul 20.00-20.45. Durasinya 45 menit, nama acara juga bukan lagi Nunggu Beduk."
• Polisi Gadungan Tipu 2 Anak SMP, Bawa Korban dengan Sepeda Motor, Kedoknya Malah Terbongkar
Figur yang diajak berbincang itu --adalah orang-orang biasa yang mengajak merenung dan merefleksikan hidup. Mereka bisa menjadi cermin sisi lain wajah Indonesia. Mereka bukan selebritas, bukan tokoh dan bukan dari keluarga tokoh.
"Mereka orang-orang di sekitar kita, bahkan tetangga kita, yang mungkin kita sendiri tak menyadari kehadirannya," ujar Mustafa.
Selain "Nunggu Beduk" Mustafa Ismail juga menggagas pentas sastra onlibe bertajuk #puisidirumahsaja.
Kegiatan mengisi masa pandemi Covid-19 ini digelar setiap akhir pekan --Sabtu atau Ahad malam– menampilkan pembacaan puisi oleh sejumlah sastrawan dan pegiat sastra dari berbagai daerah di Indonesia.
Mereka datang dari pulau Jawa, Sumatera, Aceh, hingga Pulau Bali. Sebagian dari mereka adalah nama-nama yang cukup akrab dengan publik sastra Indonesia, seperti LK Ara, Din Saja, Zaim Rofiqi, Mahwi Air Tawar, Iwan Kurniawan, Sudiyanto, Aflaha Rizal, Tora Kundera, dan lain-lain.
Pembacaan puisi dilakukan di akun Instagram masing-masing penyair secara bergantian. Kegiatan itu diorganisir oleh Imaji Indonesia dan Infosastra, lembaga yang didirikan oleh Mustafa. Semua penonton dan pembaca mengikuti informasi lalu lintas pembacaan di akun Instagram @infosastra.
Mustafa Ismail, memanglah penyair yang tidak pernah tinggal diam. Ia selalu tergerak mengisi ruang-ruang kreatif. Merancang banyak acara, menerbitkan buku, menjadi editor, memandu pelatihan, menjadi redaktur seni Koran Tempo, dan juga menempuh jenjang pendidikan sampai S2.
Musata Ismail, lahir di Trienggadeng, Pidie Jaya, 25 Agustus 1971. Dia adalah orang Aceh kedua yang meraih gelar magister seni dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dengan IPK 3,6. Mustafa tercatat dalam angkatan III Program Pascasarana IKJ 2010-2012.
Sementara S1 ia raih dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIEI) Lamlagang Banda Aceh, jurusan Manajemen Keuangan dan Perbankan.
Sebagai penyair, Mustafa melahirkan banyak puisi, sebahagian terhimpun dalam kumpulan puisi tunggalnya, "Tarian Cermin" (2007) dan "Tuhan, Kunang-kunang dan 45 Kesunyian," (2016) serta di banyak buku puisi bersama lainnya.
• Disdukcapil Aceh Tengah Lakukan Pendataan Dokumen Kependudukan Korban Banjir Bandang
"Tarian Cermin" diterbitkan oleh Aliansi Sastrawan Aceh dengan BRR NAD tahun 2007, menghimpun 99 sajak Mustafa Ismail sejak 1993 hingga 2003,
Buku tersebut berisi puisi-puisi awal kepenyairannya, dapat dikelompokan ke dalam tiga periode, dan masing-masing periode memperlihatkan tema-tema yang menonjol. Pertama, periode 1993-1996 yaitu ketika penyair masih berdomisili di daerah asal. Kedua, periode 1997-1998, sewaktu penyair mulai menetap di Jakarta sebagai jurnalis. Ketiga, periode 2000-2003, tatkala penyair (tentunya) sudah beradaptasi dengan rantau atau Ibu Kota.
Hijrah ke Jakarta, awalnya ikut forum "Mimbar Penyair Abad 21" pada 1996 di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Mustafa mewakili Provinsi Aceh. Ketika forum selesai, Mustafa memilih tidak pulang lagi ke Aceh. Ia menetap di Jakarta.
Tinggal di rumah kost berpindah-pindah. Melamar kerja ke perusahaan TEMPO dan diterima. Sejak itu ia berkarir di TEMPO mulai dari edisi interaktif, majalah, dan koran.
Ketika masih di Aceh, Mustafa juga tidak pernah diam. Menerbitkan "media alternatif" dalam bentuk copy-an serta terlibat dalam berbagai gerakan diskusi seni, lembaga swadaya masyarakat dan politik terkait Aceh, hingga pernah gerak-geriknya "dimata-mati intel." Maklum kala itu situasi Aceh sedang dalam pergolakan.(*)
• Siswi SMP Pembunuh Bocah di Sawah Besar Hamil Muda, Disetubuhi Paman dan Pacar, Begini Respon Polisi
• Enam Orang Keluarga Seorang Pasien Positif Corona di Simeulue Dirapid Tes Kedua, Ini Hasilnya
• Seperti Kerasukan Setan, Pria Ini Tikam Istrinya yang Hamil Lalu Lempar Bayinya ke Tebing Curam