BANDA ACEH - Berita tentang kondisi ternak sapi yang dikelola oleh Dinas Peternakan Aceh melalui UPTD Inkubator Kader Peternakan (IKP) Saree di Desa Sukadamai, Kecamatan Lembah Seulawah, Aceh Besar, ternyata telah sampai ke Australia.
Peternak di negeri Kangguru tersebut mengaku sangat kecewa mengetahui fakta bahwa sapi-sapi di Saree dalam kondisi kurus kering karena tak terawat. Pasalnya, di antara sapi-sapi yang diperlihara itu terdapat sapi dari Autralia hasil kerja sama dengan Pemerintah Indonesia.
“Kami mengikuti berita itu. Kami sangat prihatin dan sedih, bagaimana inisiatif program Pemerintah Pusat ditelantarkan oleh Dinas Peternakan Aceh sampai kondisi parah seperti di kandang Saree,” kata pengusaha peternakan sapi Australia, Welly Salim, kepada Serambi, Sabtu (6/6/2020).
Selain peternak, Welly juga pengurus di Asosiasi Ternak Sapi Australia yang membidangi hubungan perdagangan dan peningkatan kapasitas building khusus untuk wilayah Indonesia.
Welly menjelaskan, tahun 2018 lalu, ada program kerja sama berupa pengiriman ternak sapi betina indukan ke Indonesia berjumlah 2.500 ekor. Oleh Pemerintah Pusat, sapi-sapi itu kemudian distribusikan ke sejumlah daerah, termasuk Aceh, dengan tujuan agar dapat meningkatkan kapasitas kembang biak di Indonesia.
Setiap betina indukan ditargetkan akan menghasilkan masing-masing delapan anak sapi pedet sepanjang masa produktif-nya. Australia dia katakan, masih memiliki tanggung jawab menjamin kesejahteraan ternak-ternak sapi yang dipelihara yang diekspor ke Indonesia–termasuk Aceh– karena perjanjian kerja sama Indonesia dengan Australia diikat dengan skema ESCAS.
ESCAS atau (Exporter Supply Chain Assurance System) adalah skema jaminan rantai pasokan buat eksportir untuk mengetahui jejak hewan dari Australia hingga ke rumah potong. Welly menyebut, program ESCAS mencakup semua protokol kesejahteraan ternak sepanjang masa hidupnya sampai tahap terakhir di rumah potong hewan.
Australia ia tekankan, memang memiliki aturan ketat terkait dengan peternakan. Di negaranya, penelantaran ternak dianggap sebagai sebuah pelanggaran serius. “Jika kejadian di Saree itu terjadi di sini (Australia), malam ini juga saya akan masuk penjara,” pungkas Welly.
Karena itu, ia khawatir, apa yang dialami ternak sapi di Saree dapat menganggu hubungan kerja sama perdagangan sapi Indonesia-Autralia yang telah berjalan selama 32 tahun.
“Tahun 2011 lalu, pernah ada kasus penganiayaan sapi di rumah jagal (rumah potong) Indonesia. Akibatnya, Pemerintah Australia menutup pengiriman sapi. Jadi kita minta, tolong ternak itu dijaga agar jangan sampai menganggu kerja sama yang sudah berjalan lama ini,” pintanya.
Ia meminta Dinas Peternakan agar melakukan upaya penanganan secepatnya terhadap sapi-sapi tersebut. Welly memperkirakan, jika dilihat dari foto-foto yang banyak dimuat media, sapi-sapi itu telah ditelantarkan cukup lama dan dengan kondisi tersebut sapi-sapi itu diperkirakan hanya akan mampu bertahan hingga seminggu ke depan. “Kalau tidak secepatnya ditangani, minggu depan sapi-sapi itu bisa mati semuanya,” tukasnya.
Kepala Dinas Peternakan benar-benar harus bertanggung jawab dan meminta agar tim di Saree yang bertugas menangani ternak tidak dipakai lagi karena terbukti tidak bisa dipercaya. Ia juga menyarankan Dinas Peternakan menggunakan tenaga profesional dari Unsyiah untuk menangani ternak-ternak tersebut.
“Kita ada kerja sama dengan Unsyiah. Ada dua mahasiswanya yang magang di tempat kami. Mereka itu sudah berpengalaman menangani sapi, semestinya mereka dipakai,” demikian Welly Salim.(yos)