Oleh William Nessen, Jurnalis dan Pembuat Flim Asal Amerika
Saya berjumpa dengan Nurdin beberapa hari setelah perjalanan pertama saya ke Aceh pada 2001. Saya datang dalam rangka meliput tentang meningkatnya perjuangan kemerdekaan Aceh untuk media San Francisco Chronicle.
Sebelumnya saya telah menghabiskan beberapa tahun di Indonesia dan di daerah-daerah yang paling bergejolak. Saya berada di Jakarta saat aksi protes tahun 1998 dan kejatuhan Suharto. Saya berada di Timor Timur selama berbulan-bulan ketika aksi protes dimulai beberapa hari setelah jatuhnya Suharto dan semakin lama semakin membesar. Saya juga kembali ke sana ketika milisi yang disokong Indonesia memulai tindak kekerasan mereka.
Selain itu, saya juga pernah menghabiskan lebih dari satu tahun di Papua Barat, melakukan berbagai perjalanan, berjalan ratusan kilometer dengan OPM dan berkelana dengan kapal boat bersama mereka serta menulis dan mengambil foto menggunakan nama samaran yang disepakati editor. Selama tahun-tahun itu saya berjumpa dengan banyak orang yang mengagumkan dan berani, serta melihat cukup banyak masyarakat sipil terenggut nyawa dan mendengar cukup banyak cerita tentang penyiksaan dan kematian untuk mempersiapkan saya dengan tahun-tahun yang akan saya habiskan di Aceh.
Dalam perjalanan saya dari bandara ke Banda Aceh di hari pertama, saya teringat akan rasa terkejut pada bagaimana bagian dari Aceh ini terlihat jauh lebih baik dan berkembang secara ekonomi ketimbang kondisi penuh derita di Timor Timur dan Papua Barat. Namun, saya segera mengetahui bahwa tempat ini juga mengalami teror yang serupa.
Nurdin adalah pemandu pertama-dan tetap yang terbaik-untuk politik kemerdekaan dan situasi hak asasi manusia di tanah airnya yang tercinta namun terkoyak, Aceh, dan hal itu membuat saya langsung menyukainya. Sebagian alasannya adalah karena bahasa Indonesia saya masih buruk, sementara ia berbicara Bahasa Inggris dengan memukau. Sebagian alasan lainnya adalah karena ia sendiri sosok yang penuh rasa ingin tahu, selalu mencoba untuk belajar lebih banyak dan menggali lebih dalam, dan itu membuatnya menjadi seorang guru yang menghargai kompleksitas politik. Ia tak pernah menguliahi atau mencoba meyakinkan saya tentang sesuatu meski ia sangat kuat meyakininya. Walaupun penuh gelora dalam perjuangan kemerdekaan Aceh, ia mampu memisahkan dirinya dari aspek itu dan memberikan apa yang kemudian merupakan gambaran yang seimbang dan cukup objektif terhadap ragam peristiwa yang bergulir di sekitar kami.
Hal lain yang membuat saya cepat terkesan dengan Nurdin adalah bahwa ia tidak takut-meski dia adalah ketua suatu organisasi yang menghimpun informasi tentang penyiksaan oleh militer dan polisi Indonesia. Ini adalah momen ketika militer secara kekuatan penuh mencengkram kembali kuasanya dan kendalinya di Aceh, atau setidaknya di wilayah perkotaan.
Hari pertama kami jumpa, saya masih ingat ketika itu hari masih pagi dan angin sejuk berhembus. Nurdin bersikukuh agar kami duduk di luar, di suatu taman kecil yang indah di bawah pohon besar namun sangat jelas terlihat oleh siapa pun yang berkendara atau berjalan melintas. Di pertemuan berikutnya, kami bercengkrama dan pada satu momen ia mengantar saya ke tempat-tempat yang berbeda di Banda Aceh dan sekitarnya dengan sepeda motornya. Semua orang Aceh yang saya temui waktu itu jauh lebih berhati-hati dan akan menemui saya di dalam ruangan yang jauh dari pandangan menyelidik.
Ketika saya sampaikan pada Nurdin kalau terlihat terlalu sering dan terbuka dengan saya, seorang jurnalis asing, mungkin membahayakan bagi dirinya, ia merespon dengan suara kalem dan pelan bahwa ia hanya bisa merdeka sejauh ia bisa bertindak. Dan ia berkata, ia memutuskan untuk merdeka.
Butuh waktu baginya untuk mengatakan pada saya secara detil tentang tahun-tahun mengerikan dalam belenggu yang telah ia lalui. Ia telah menghabiskan beberapa tahun di penjara sebagai pendukung Aceh Merdeka pada 1980-an. Militer telah menyiksanya, menempelkan kabel listrik ke bagian-bagian paling sensitif dalam tubuhnya, meremukkan jemarinya dengan palu dan kaki kursi yang berat dan menarik kuku-kuku jemarinya dengan tang. Siksaan itu telah merusak kesehatannya secara permanen. Saya telah mendengar kisah-kisah serupa di Papua Barat dan Timor Timur dan telah melihat foto-foto yang diambil oleh militer Indonesia saat mereka melakukan penyiksaan. Namun, kisahnya masih menyisakan kesan yang mendalam bagi saya.
Hal lain yang mengesankan tentang Nurdin adalah ia akan mengisahkan pengalamannya sendiri dan pengalaman orang lain tanpa meneteskan air mata. Itu bukan karena ia kurang peka atau empati. Sebaliknya, ia justru salah satu orang yang paling halus dan empatik yang pernah saya temui, dan dia akan mengisahkan kesulitan yang dihadapi seseorang atau lainnya atau satu desa tertentu yang terjadi minggu sebelumnya di tangan militer Indonesia.
Namun, ia punya watak untuk tetap optimis bahkan di tengah keadaan buruk. Sedangkan saya sering mendapati diri hampir menangis atau berlinang air mata selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan di penghujung beberapa tahun yang saya habiskan di Aceh, hidup di pedesaan dan melihat perang dari dekat. Ketika orang Aceh lainnya memberi saya masa-masa sulit akibat saya mudah menangis, Nurdin tak pernah melakukannya. Ia justru kerap meletakkan tangannya di pundak saya dan mengatakan pada saya bahwa hal itu adalah tanda kepedulian mendalam saya pada rakyat Aceh.
Intinya, Nurdin dan saya menjadi kawan baik, dan tiap kali saya di Banda Aceh pada tahun-tahun itu-sebelum saya dipenjara dan diusir dari negara ini-kami akan berjumpa. Sesekali ketika ia mengira saya tidak mengamatinya, saya mendapati wajahnya tampak sedang kehilangan arah. Saya tak pernah ingin membuatnya malu dengan bertanya apa yang sedang terlintas di benaknya, tapi saya kemudian percaya bahwa saya sedang mendapat sekelumit dari beberapa luka menyakitkan pada psikisnya akibat masa lalu yang ia habiskan di penjara serta dari tekanan pekerjaannya di Aceh selama bertahun-tahun di bawah kendali militer.
Di kemudian hari, kami juga bersama selama pembicaraan damai di Helsinki, dimana ia merupakan salah satu dari juru runding GAM dan saya mendapat kehormatan sebagai penasihat-meski hanya sebentar- untuk tim perunding GAM sebelum mereka memutuskan, setidaknya untuk masa depan yang masih dapat diraba, untuk melepaskan perjuangan kemerdekaan. Dengan terjangan tsunami, rakyat Aceh waktu itu baru saja mengalami kematian yang terlalu banyak di saat yang bersamaan. Pada tahun-tahun sejak berakhirnya konflik, saya tetap dicekal oleh Pemerintah Indonesia memasuki Indonesia dan Aceh. Namun Nurdin dan saya tetap berkomunikasi via telepon, email, dan SMS. Saya kira kami tak pernah bertemu muka kembali kecuali beberapa hari saja sewaktu di Australia. Dia terpilih menjadi Bupati Bireuen dan kemudian dipenjara karena beberapa ketidakwajaran. Setelah itu, ia berjuang secara finansial.
Meski begitu, ketika ia berada di atas, ia tidak pernah sombong dan bertingkah seolah ia pemimpin besar dan penting. Begitupun ketika ia berada di bawah, ia tak pernah menjadi apapun selain sosok yang tegak tanpa takut, penuh pemikiran, dan berhati baik seperti sosok yang saya temui hampir dua puluh tahun lalu yang telah mengabdikan hidupnya untuk kebebasan Aceh.
Ketika saya menerima kabar beberapa pagi silam bahwa Nurdin telah wafat, saya menangis. Saya tahu itu bukan gaya Nurdin, tapi saya juga tahu bahwa ia akan tahu apa makna air mata itu: bahwa saya menghormatinya dan menyayanginya. Itu adalah kemerdekaan yang mampu ia temukan, bahkan di masa-masa tersulit.