Di bidang akademis, Icut juga punya otak encer. Ia menjadi mahasiswa berprestasi, meraih predikat cum laude.
“Menjadi anak tunggal dan tinggal jauh merantau dari orang tua tidak membuatnya menjadi manja.
Oleh karena itu, saya tetap berusaha mengejar ambisi dan target untuk menyenangkan hati orang tuanya yang tunggal dengan memberikan prestasi-prestasi yang membuat orang tua bangga,” kenangnya.
Icut memilih tetap berada di Medan, setelah merampungkan kuliah.
Ia mengajar di berbagai tempat bimbingan belajar dan kursus.
Hebatnya lagi, Icut mendaftar jadi pramugari dan lulus pada 2010, khusus pramugari pada penerbangan haji.
Disebut “pramugari haji.” Profesi pramugari memberi pengalaman baru bagi Icut tentang dunia penerbangan.
Ia menjalani “pramugari haji” selama dua tahun, dan kemudian menikah dengan pria pilihannya.
Pada tahun 2012, Icut diboyong sang suami ke ibukota, Jakarta. Ia tetap ingin memiliki aktivitas, dengan membuka butik pakaian muslimah.
Tapi Icut merasa tidak punya bakat sebagai pedagang. Ia mengimpikan dunia sastra dan pendidikan. Ia ingin kembali menggeluti dunia tersebut.
Atas restu suami, Icut memutuskan melanjutkan program magister Ilmu Susastra di Universitas Indonesia.
Di kampus hijau ini, ia mengenal lebih tentang kritik sastra, teori-teori sastra, dan pendekatan-pendekatan sastra yang selama ini tidak pernah ia jamah.
Ia semakin yakin dengan jurusan yang ia pilih. Dan berikrar bahwa ia akan mengembangkan keilmuan di bidang sastra ini, sehingga bermanfaat bagi kemanusiaan.
“Sastra adalah representasi sisi humanis yang dituliskan dan dibahasakan dengan indah.
Sastra adalah perwujudan dari watak dan karakter manusia beserta hal-hal yang melingkupinya.