Laporan Asnawi Luwi | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dr Taqwaddin Husin SH, mempertanyakan dana sebesar Rp 1,7 Triliun APBA Aceh untuk menangani pandemi virus corona (covid-19) di Aceh.
“Awalnya dana ini saya pertanyakan pada 14 April 2020. Dan, pada Selasa (4/8/2020) pertanyakan juga bagaimana rincian refocusing anggaran untuk Covid-19 Aceh yang sebesar Rp 1,7 Trilun pada Ketua DPRA Aceh, Dahlan, beliau juga belum tahu rinciannya,” katanya.
Kesannya tidak transparan, padahal itu uang rakyat yang harus digunakan untuk melindungi rakyat, baik penggunaannya untuk bidang kesehatan, penanganan dampak ekonomi, dan jaring pengaman sosial.
"Saya kaget membaca Laporan Dirjen Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, yang menempatkan Provinsi Aceh berada diurutan kelima terbesar dalam hal refocusing APBD (APBA). Secara berurutan adalah, DKI Jakarta (10,6 T), Jawa Barat (8,0 T), Jawa Timur (2,3 T), Jawa Tengah (2,1 T), dan Aceh (1,7 Trilun),” ujarnya.
“Perlu kita pertanyakan, apa yang menjadi alasan dan pertimbangan sehingga Aceh mengusulkan sebanyak itu? Sedangkan penduduk Aceh hanya 5,2 juta. Lagi pula tingkat kerawanan Aceh lebih kecil dibandingkan daerah lain. Apakah tidak ada komunikasi dengan provinsi lain waktu pembahasan refocusing APBA. Misalnya bertanya ke provinsi lain yang penduduknya setara dengan Aceh atau apalah. Bahkan refocusing APBD Sumatera Barat jauh di bawah Aceh. Begitu juga dengan Sumatera Utara. Padahal jumlah penduduk dan tingkat kerawanan Sumut lebih tinggi dari Aceh," ujar Taqwaddin kepada Serambinews.com, dalam rilisnya, Jumat (7/8/2020).
Saya bisa memaklumi anggaran tersebut besar. Tetapi porsi untuk masyarakat yang terkena dampak harus lebih besar pula. Baik dalam bentuk bantuan sembako atau malah pinjaman usaha untuk pasca corona.
Menurut informasi dari laporan Kemendagri, Aceh me-refocusing APBA 2020 mencapai Rp 219 Miliar untuk penanganan dampak ekonomi.
Posisi Aceh berada pada urutan ke-5 nasional. Yaitu DKI Jakarta (1.5 T), Jawa Barat (690 M), Jawa Tengah (329 M). Jawa Timur (269 M) dan Aceh (219 M).
"Apakah yang dimaksud dengan upaya penanganan dampak ekonomi ? Apakah ini berupa pemberian sembako atau bantuan tunai atau bahkan termasuk pinjaman lunak untuk UMKM," tanyanya.
“Perlu kita pertanyakan agar dana publik ini jelas dan tepat peruntukkannya bagi masyarakat berdampak terhadap Covid-19, sehingga tepat sasaran baik tepat orang, tepat waktu, tepat barangnya, tepat besaran, maupun tepat laporannya. Terus terang saja, bantuan sembako yang baru saja dilaunching beberapa hari lalu oleh Plt Gubernur Aceh, menurut saya tidak memadai,” ungkapnya.
Dibagikan kepada 60.000 Keluarga dengan harga per paket Rp 200.000 dengan dana Rp 12 M menurutnya ini sedikit sekali, jika dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk ini yang mencapai Rp 219 Miliar.
Isi paket tersebut adalah beras, minyak goreng, mie instan, sarden dan gula. Kecuali beras, semua barang bantuan sembako tersebut didatangkan dari luar daerah.
Tentu saja ini melibatkan para pedagang besar yang pasti berorientasi pada mencari laba atau mencari keuntungan.
Apalagi bantuan kali ini hanya diperuntukkan hanya bagi OMB (orang miskin baru), bukan penerima PKH dan penerima BLNT (bantuan langsung non tunai).