Artikel ini merupakan arsip berita Harian Serambi Indonesia edisi Selasa 16 Agustus 2005, sehari setelah penandatanganan MoU Damai Aceh di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.
Artikel ini berisi pernyataan Pieter Feith, Ketua Tim Pemantau Awal (perdamaian Aceh) yang menggelar konferensi pers di Banda Aceh, Senin 15 Agustus 2005.
Tim Pemantau Awal (perdamaian Aceh) ini adalah cikal bakal dari Aceh Monitoring Mission (AMM), lembaga pemantau perdamaian Aceh.
Dari awal hingga akhir bertugas, lembaga ini dipimpin oleh Pieter Cornelis Feith, diplomat Belanda yang duduk di Dewan Sekretariat Uni Eropa.
Sebagai bagian dari upaya merawat ingatan, sekaligus merawat damai di Aceh, berikut kami turunkan kembali pernyataan Pieter Feith yang kami rangkum dalam topik “15 Tahun Damai Aceh”.
• Kopi, Kuah Beulangong hingga Ayam Tangkap, Cara Srikandi Indonesia Merawat Damai Aceh dari Finlandia
***
“Tim Pemantau Mulai Bekerja”
BANDA ACEH - Sebanyak 80 anggota Tim Pemantau Awal (IMP), gabungan dari Uni Eropa dan ASEAN mulai bekerja di Aceh.
Tim ini bertugas untuk melakukan persiapan awal sebelum terbentuknya Aceh Monitoring Mission (AMM) atau Misi Pemantau (perdamaian) Aceh, di mana AMM itu sendiri dijadwalkan bekerja mulai 15 September 2005.
"Kami telah menempatkan beberapa anggota tim (IMP) di beberapa wilayah di NAD untuk melaksanakan tugasnya dan bisa beradaptasi dengan warga setempat, dan juga bisa memberikan kemudahan-kemudahan bagi tim AMM nantinya," kata Pieter Feith, Ketua Tim Pemantau Awal (perdamaian Aceh) dalam konferensi pers di Banda Aceh, tadi malam.
Menurut dia, IMP akan menjembatani tenggang waktu di antara tanggal penandatanganan nota kesepahaman di Helsinki sampai pembentukan secara utuh AMM pada 15 September 2005.
Konferensi pers itu adalah yang pertama digelar IMP setelah resmi terbentuk pada 15 Agustus 2005.
Pieter Feith didampingi oleh Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Charles Humfrey, dan T Darmawan, Wakadis Infokom NAD, serta Faye Belnis (press officer) yang sekaligus bertindak sebagai penterjemah.
Konferensi pers yang dilaksanakan di Media Centre Infokom NAD itu dihadiri oleh puluhan wartawan dalam dan luar negeri.
Menurut dia, kehadiran Tim Pemantau Awal ini dikarenakan adanya keinginan dari pihak RI dan GAM agar para pemantau bisa sesegera mungkin berada di Aceh setelah nota kesepahaman itu ditandatangani.
"Kehadiran mereka di sini menunjukkan komitmen dari UE, Norwegia dan Swiss, beserta lima negara ASEAN bagi terlaksananya proses perdamaian," ujar dia.
Dikatakan, personil IMP yang terdiri dari UE, Brunei Darussalam, Malaysia, Philipina, Singapura, Thailand, serta Norwegia, dan Swiss akan mendirikan kantor pusatnya di Banda Aceh, dan empat kantor wilayah awalnya, di Banda Aceh, Bireun, Lhokseumawe, dan Meulaboh.
"Tugas mereka mencakup aspek perencanaan dan persiapan bagi terbentuknya AMM. Mereka juga akan menjalin hubungan di daerah dan berusaha untuk melakukan pengenalan lokasi sebelum terbentuknya AMM," tambahnya.
Pieter Fieth yang ditunjuk sebagai Ketua IMP adalah Wakil Direktur Jenderal di Dewan Sekretariat Uni Eropa, dengan tugas-tugas utama mengembangkan keamanan Eropa dan keijakan pertahanan.
Di IMP, Feith mempunyai Wakil Ketua Utama yaitu, Letjen Thonglek dari Thailand. Keduanya juga dipersiapkan untuk mengisi posisi yang sama setelah AMM terbentuk.
• 15 Tahun Damai Aceh - Begini Suasana Detik-detik Penandatanganan MoU Helsinki 15 Agustus 2005
• 15 Tahun Damai Aceh, Puluhan Penyair Indonesia Tulis Puisi untuk Aceh
Aceh Monitoring Mission
Mengomentari tentang AMM, Pieter mengatakan, Aceh Monitoring Mission (AMM) atau Misi Pemantau (perdamaian) Aceh, akan bertugas secara resmi mulai 15 September 2005, atau sebulan setelah draft kesepakatan damai ditandatangani oleh Pemerintah RI-GAM.
AMM, kata dia, adalah sebuah misi sipil yang para anggotanya terdiri dari sekitar 200 personil sipil tidak bersenjata.
Dalam menjalankan tugas pemantauan, AMM akan membuka kantor pusat di Banda Aceh, dan 11 kantor wilayah di Sigli, Birueun, Lhokseumawe, Langsa, Tapaktuan, Blang Pidie, Meulaboh, Lamno, Banda Aceh, Kutacane, dan Takengon.
AMM juga akan diperkuat oleh satu kantor logistik di Medan, Sumatera Utara.
Sesuai dengan Nota Kesepahaman Helsinki, tugas-tugas AMM meliputi, memantau ditaatinya gencatan senjata di antara kedua belah pihak; memantau penyerahan diri dan pelucutan senjata GAM; memantau relokasi satuan-satuan non organik TNI dan Polri; memantau proses reintegrasi anggota aktif GAM di tengah masyarakat; memantau situasi hak asasi manusia dalam rangka pelucutan senjata dan penyerahan diri anggota aktif GAM.
• Inggris Ingin Perdamaian Aceh Berlanjut
Kemudian, mengambil tanggungjawab tertentu dalam penyelesaian ketidak-sepahaman dalam permasalahan kasus-kasus pemberian amnesti, sesuai dengan prosedur penyelesaian ketidaksepahaman yang telah disepakati dalam nota kesepahaman.
Serta memeriksa dan mengambil tanggungjawab dalam penyelesaian pengaduan dan dugaan pelanggaran terhadap nota kesepahaman sesuai dengan prosedur penyelesaian ketidaksepahaman yang telah disepakati.
Pieter juga menegaskan, AMM tidak akan mengambil peran sebagai fasilitator atau perunding. Jika dalam proses nantinya hal itu dianggap perlu, kata dia, maka hal itu adalah tanggungjawab dari kedua belah pihak serta fasilitator awal yaitu, Crisis Management Initiative (CMI).
"Para pemantau akan melaksanakan tugas dengan berpatroli dan berkomunikasi dengan kedua belah pihak, serta dengan melaksanakan inspeksi dan penyidikan, jika dianggap perlu," demikian Pieter Feith.(nal)