Kupi Beungoh

VUCA, Covid-19 dan Katak Rebus

Editor: Muhammad Hadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ridhalul Ikhsan, Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat FK Unsyiah

Oleh Ridhalul Ikhsan *)

Sejak merebak pandemi corona virus atau yang lebih kita kenal covid-19 di Kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019 lalu. Kita menghadapi perubahan dalam kehidupan kerja, sosial, dan keterbatasan bergerak.

Dalam bingkai yang lebih besar juga mempengaruhi dunia kesehatan, pendidikan, pasar, politik dan agama. Seluruh negara terkunci. Saat ini kita mengalami era ketidakpastian atau dalam teori kepemimpinan dikenal dengan VUCA.

Akronim VUCA - pertama kali digunakan pada tahun 1987, mengacu pada teori kepemimpinan Warren Bennis dan Burt Nanus - untuk menggambarkan atau merefleksikan perubahan kondisi yang sangat cepat (volatility), ketidakpastian (uncertainty), kompleksitas (complexity) dan ambiguitas (ambiguity) pada semua situasi.

Hendak Makan Malam, Tapi Pekerja Restoran tak Ada, Sekeluarga Terkejut Saat Lihat ke Belakang

Covid-19 ialah sumber ketidakpastian, ia menjadi pandemi global yang membuat seluruh penjuru dunia dihantui ketidakpastian sehingga kecemasan kolektif terus meningkat. Ketidakpastian terjadi ketika kita tidak mampu memprediksi tindakan-tindakan kita.

Di sinilah kita dituntut untuk cepat paham apa dan mengapa terjadi. Kecepatan pemahaman itu akan menentukan kecepatan kita menciptakan kepastian.

Walau belum banyak yang menyadari, gejolak VUCA sudah hadir ditengah publik dan cukup membingungkan.  Karena itu, serangkaian pendekatan adaptasi ikut dikembangkan untuk merespon situasi yang serba cair dan rumit ini, diantaranya;

Pertama, perubahan yang cepat (volatility) vs fleksibilitas. Cara yang tepat untuk beradaptasi dengan pergejolakan ini adalah dengan fleksibilitas. Kita harus memiliki dan mengasah kemampuan agar menjadi seorang yang fleksibel dan mudah beradaptasi dengan situasi yang berbeda.

Mari kita ambil contoh dari tanah liat. Tanah liat merupakan bahan yang mudah untuk ditekuk dan dibentuk menjadi apapun. Kita dapat menjadikan tanah liat itu menjadi sebuah bentuk yang kita mau.

Jadi inilah yang juga harus kita ikuti, menjadi seorang yang fleksibel, tidak kaku, mengikuti pergejolakan yang terjadi saat ini bukanlah hal sulit. Jangan lagi mempertahankan pendirian dan menerapkan konsep lama, jadilah pribadi fleksibel.  

Warga Aceh Timur Pecah Kepala Ditabrak Truk Fuso, Sepmor Rusak Berat

Kedua, pemahaman akan ketidakpastian (uncertainty). Di era digital saat ini, teknologi adalah sarana utama untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran. Dimana, reaksi umum terhadap ketidakpastian dari kurangnya pemahaman biasanya mengarah pada ketakutan.

Pemahaman (understanding), kata kunci ini mengharuskan seseorang untuk menjadi pembelajar. Pembelajar yang diinginkan di sini harus mempunyai kemampuan mengumpulkan informasi baru, melakukan analisis untuk menarik kesimpulan (sintesis) sehingga menghasilkan cara pandang yang baru.

Ini memperlihatkan cara berpikir yang terus tumbuh berkembang mengikuti perkembangan situasi, termasuk kemauan meninggalkan cara berpikir lama (Fixed mindset). Karena yang dihadapi ialah kondisi baru, maka harus disikapi dengan cara berpikir baru.

Ibarat orang sekarang memaksakan disket ke orang lain di kala semua orang sudah menggunakan cloud. Fixed mindset bila dipaksakan untuk melihat sesuatu yang baru tentu akan mengalami stagnasi, tidak berkembang, sementara cakupan dan kedalaman masalah selalu berkembang.

Mental pembelajar adalah modal untuk membentuk masyarakat inspiratif. Ciri masyarakat pembelajar akan terlihat dari narasi-narasi yang dibangun di media sosial, berisi narasi-narasi inspiratif yang membangun optimisme dan bukanlah berisi narasi-narasi yang menebar ketakutan, hoax dan membangun pesimisme.

Ketiga, membangun kekuatan kolaborasi untuk menghadapi kompleksitas (complexity). Kolaborasi ialah cara menyatukan potensi dan kekuatan, apalagi dalam dunia yang penuh kompleksitas dengan masalah yang tidak hanya mengandung satu variabel, tapi multivariabel.

Pekerja China dan Jejak Laksamana Cheng Ho di Aceh

Menghadapi covid-19 dokter tidak bisa sendiri, diperlukan riset interdisiplin dengan pemanfaatan analisa big data, kecerdasan buatan serta metode pemodelan molekular. Serta kolaborasi pemerintah dengan lembaga lintas sektor, dalam maupun luar negeri. Menghadapi masalah yang multivariabel dan terkait satu sama lain memerlukan kolaborasi yang lebih kuat.

Keempat, mengatasi ambiguitas dengan kelincahan (agility). Ambiguitas adalah keadaan yang didalamnya tergantung penafsiran yang berbeda. Setiap orang memiliki penafsiran yang berbeda tentang suatu hal. Perbedaan penafsiran ini sering kali menimbulkan kekacauan. Sebagai contoh ambiguitas publik terhadap metode diagnostik covid-19.

Pada awal fase pandemi masyarakat hanya mengenal uji diagnostik Rapid Test Antibody dan Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Rapid test antibody hanya memakan waktu 10-15 menit dengan nilai bias yang tinggi. Sedangkan RT-PCR sebagai standar baku emas (paling akurat) membutuhkan waktu 1-2 hari.

Seiring berjalannya status pendemi, pemerintah memperkenalkan uji baru berupa Rapid Test Antigen dimana waktu pemeriksaan 20-30 menit dan Test Cepat Molekular (TCM) dengan waktu pemeriksaan kurang dari dua jam.

Rapid test antigen diklaim mempunyai nilai akurasi yang lebih tinggi dari pada rapid test antibody, sedangkan TCM mempunyai nilai presisi yang sama dengan RT-PCR tetapi mempunyai waktu pemeriksaan yang lebih singkat.

Kawanan Gajah Liar di Seumanah Jaya Aceh Timur Dipasang GPS Collar

Hal ini lah yang membuat publik bertanya, kenapa kemarin dan sekarang berbeda? sehingga muncul opini dan narasi tendensius di masyarakat yang meragukan kinerja tenaga medis. Tentunya hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi yang sangat cepat, yang menuntut kecepatan dan akurasi diagnostik, mampu dilakukan dalam waktu yang singkat.

Di sinilah masyarakat didorong menjadi pembelajar yang lincah, untuk menjadi kelompok yang siap menyerap informasi dan merespon perubahan dengan bijak.

Kita patut bersyukur karena kini para ilmuwan banyak yang telah menjadi pembelajar yang lincah. Dalam waktu sembilan bulan yang lalu, telah banyak dilakukan penelitian untuk mengatasi covid-19. Padahal covid-19 ialah baru, pembelajar yang biasa-biasa saja tidak akan mampu secepat ini.

Keempat kata kunci di atas ialah upaya minimal untuk menghadapi ketidakpastian. Tugas kita ialah membuat ketidakpastian menjadi kepastian. Ketidakpastian akan berlangsung lama di kala sesuatu itu baru dan kita tidak punya pengetahuan tentangnya. Sebaliknya, ketidakpastian segera berlalu di kala kita memilliki pengetahuan dan kemampuan menghadapinya.

Katak Rebus

Sebagian dari kita mungkin sudah tahu tentang analogi “katak rebus”. Seekor katak yang dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas, ia akan langsung melompat keluar dari panci.

Sementara apabila ia dimasukkan ke dalam panci yang berisi air dingin, ia akan menetap di dalam panci. Meski kemudian air di dalam panci itu dipanaskan hingga mendidih, sang katak tetap tidak melompat. Sang katak akhirnya mati terebus di dalam panci.

Viral Rekaman Pengunjung Restoran Selamatkan Anak dari Penculikan, Ibu dan Anak Menjerit

Analogi “katak rebus” ini ditujukan kepada mereka yang tidak menyadari adanya perubahan yang begitu cepat di luar sana. Ia enggan berubah dan tetap nyaman dengan status quo.

Ia merasa kuat, besar, unik dan memiliki banyak kelebihan. Pada hakekatnya, ia sedang direbus, tetapi ia tidak menyadari apa yang terjadi.

Sebagai penutup penulis ingin mengutip kalimat bijak Peter F Drucker ialah “Bahaya terbesar pada saat turbulensi bukanlah turbulensi, melainkan bertindak dengan logika kemarin”.

*) PENULIS adalah Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat FK Unsyiah

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis

Berita Terkini