Sementara saat pandemi Covid-19 saat ini, dikatakan Nur Aisyah, kasus kekerasan tersebut bukan menurun tapi makin naik. Hal itu karena, saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) misalnya, seluruh anggota keluarga, orang tua, dan anak-anak berkumpul di rumah.
Laporan Mawaddatul Husna | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi di Aceh, masih tinggi.
Hal itu terlihat dari data yang dipaparkan oleh Direktur Cahaya Institut sekaligus Pemerhati Masalah Perempuan dan Anak, Nur Aisyah dalam Program Serambi Podcast Edisi Bincang Publik dengan tema “Melindungi Perempuan dari Ancaman Kekerasan Seksual”, yang disiarkan langsung melalui Facebook Serambinews.com, Selasa (20/10/2020).
Nur Aisyah menyebutkan, selama tiga tahun (2018-2020) Aceh termasuk ke dalam 20 besar provinsi yang tinggi angka kekerasan berbasis gender di Indonesia.
Yaitu urutan ke-9 (298 kasus) pada 2020, sebelumnya pada urutan ke-16 (167 kasus) pada 2019, dan urutan ke-14 pada 2018 (290 kasus).
Sementara dilihat secara kepulauan, di Pulau Sumatera pada 2020, Aceh menempati urutan ke-4 tertinggi kasus kekerasan yaitu sebanyak 298 kasus, sedangkan pada 2019 urutan ke-7 sebanyak 167 kasus, dan pada 2018 urutan ke-5 sebanyak 290 kasus.
“Lalu data Provinsi Aceh merujuk kepada data yang dikeluarkan P2TP2A tercatat, mulai 2017 hingga Juni 2019 ternyata angka kekerasan di Aceh mencapai 3.695 kasus. Dan pada 2020 sendiri tercatat, sebanyak 379 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di Aceh,” sebutnya.
Baca juga: Ratusan Warga Aceh Singkil Terima Sertifikat Tanah Gratis
Ia menyebutkan, bentuk kekerasan yang paling tinggi pada kelompok umur 0-17 tahun adalah kekerasan seksual dan kekerasan psikis.
Tetapi, kekerasan pada perempuan dewasa (18 tahun ke atas) sedikit berbeda trennya.
“Dimana pada 2017 jenis kekerasan yang paling tinggi adalah kekerasan fisik dan psikis, sedangkan pada 2018-2019 jenis kekerasan yang paling tinggi adalah KDRT dan kekerasan psikis,” katanya.
Sementara saat pandemi Covid-19 saat ini, dikatakan Nur Aisyah, kasus kekerasan tersebut bukan menurun tapi makin naik.
Hal itu karena, saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) misalnya, seluruh anggota keluarga, orang tua, dan anak-anak berkumpul di rumah.
Sehingga situasi dan kondisi tersebut, ternyata dapat menjadi pemicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Walaupun data yang saya baca di Banda Aceh misalnya angkanya menurun, tetapi kita perlu menganalisa kenapa angka ini menurun. Kita harus mencermati, apakah misalnya pendataannya yang tidak maksimal, ataupun ada keterbatasan dari korban perempuan maupun anak untuk melapor dengan kondisi seperti ini,” katanya yang menyebutkan harus ada penanganan khusus terhadap kasus kekerasan tersebut di saat pandemi seperti ini. (*)
Baca juga: Kasus Melonjak, Persentase Kesembuhan Covid-19 di Aceh Tamiang Tetap Tinggi