Prestasi Aceh di ajang MTQ Nasional terus menurun. Sejak menjadi juara umum pada 1981, Aceh tidak pernah lagi meraih prestasi membanggakan di level nasional. Ada apa dengan Negeri Syariat?
Oleh Mulyadi Nurdin, Lc, MH*)
MTQ Nasional tahun 2020 baru saja usai, Dewan Juri mengumumkan capaian prestasi setiap kontingen, di samping itu juga diumumkan peringkat 10 besar Provinsi, Aceh tidak masuk dalam list tersebut.
Prestasi Aceh di ajang MTQ Nasional yang terus menerus mengecewakan kita semua.
Ini tidak bisa lagi disebut kebetulan, karena terjadi secara beruntun.
Kita bandingkan saja, pada tahun 2010 Aceh peringkat ke-9, Tahun 2012 peringkat ke-11, Tahun 2014 peringkat ke-9, Tahun 2016 peringkat ke-8, Tahun 2018 peringkat ke-7, dan tahun ini tidak masuk 10 besar.
BACA: Ini Daftar Nama Putra Putri Aceh Pengukir Prestasi Sejak 1981
Memang Gubernur Aceh, Nova Iriansyah tidak membebankan target yang muluk-muluk pada kafilah Aceh tahun ini.
Namun Nova berharap hasil yang dicapai tahun ini bisa lebih baik dari MTQ Nasional sebelumnya di Medan.
Tapi kenyataannya, harapan itu jauh dari ekspektasi rakyat Aceh yang setiap hari menunggu dan mengupdate informasi kafilah Aceh yang bertanding di Sumatera Barat.
Malah beredar berbagai meme yang sinis, saat Aceh berada di urutan paling bawah menjelang final.
Entah kecewa dengan keadaan atau sebagai bentuk sindiran, sebagian pengguna medsos, membalikkan tabel perolehan juara MTQ XXVIII Padang.
Berkat tabel terbalik yang dikirim ke grup WA serta diunggah Facebook, Aceh yang aslinya berada di peringkat paling bawah, sukses duduk di peringkat pertama. Ada-ada saja.
Baca juga: Prestasi Aceh di MTQ Padang, Gejala atau Penyakit? (Bagian I)
Baca juga: MTQ Nasional Sumbar Berakhir, Ini Duta Aceh Peraih Juara
Daerah Otonomi Khusus
Kondisi Aceh sebagai satu-satunya Provinsi yang menerapkan Syariat Islam menjadi beban tersendiri di ajang MTQ.
Dengan semangat penerapan syariat Islam secara kaffah di Aceh, yang tahun ini sudah merambah ke lembaga keuangan.
Tentunya menjadi harapan banyak orang, berbagai nilai-nilai Syariat dapat berkembang, dan menjadi contoh bagi provinsi lain di Indonesia.
Hal itu bukan harapan kosong, karena di Aceh urusan keagamaan selain diurus oleh Kementerian Agama, juga diurus oleh beberapa Instansi, seperti Dinas Syariat Islam, Dinas Pendidikan Dayah, Satpol PP dan Wilayatul Hisbah.
Sementara dalam fungsi koordinatif ada Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Rakyat Aceh.
Sebagai provinsi yang setiap tahun mendapat dana otonomi khusus, urusan yang menjadi kekhususan Aceh pastinya mendapat alokasi dana yang memadai sesuai tupoksinya.
Mungkin anggapan orang di luar Aceh, dengan kekhususan dan keistimewaan yang dimiliki Aceh, sekedar prestasi di ajang MTQ menjadi hal yang tidak terlalu sulit, malah bisa menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia.
Baca juga: Italia Ambil Alih Kepresidenan G20, Kepemimpinan Arab Saudi Sudah Berakhir
Jangan Cepat Puas
Untuk menjadi yang terbaik kita tidak boleh cepat puas, setiap saat harus meng-update skill dan strategi dalam meraih prestasi.
Mungkin saja kita unggul di tahun 1981, karena memang saat itu daerah lain masih belum banyak yang memiliki skill di bidang yang diperlombakan dalam MTQ.
Namun dalam perjalanan, daerah lain juga berusaha keras mengejar ketertinggalan dan belajar dari pengalaman yang ada, sehingga bisa lebih baik dari sebelumnya.
High Standard
Untuk itu dalam berbagai hal kita harus selalu memasang high standard supaya tidak dapat didahului oleh rival kita.
High standard akan memungkinkan kita bertahan agak lama sebelum orang lain mengejar ketertinggalannya, sambil kita terus meningkatkan kemampuan ke arah yang lebih baik.
Pengalaman penulis yang sudah beberapa kali menjadi pendamping kafilah dalam ajang musabaqah tingkat nasional, dapat melihat sendiri bagaimana daerah lain di Indonesia terus meningkatkan skill tanding mereka, yang pada akhirnya akan mengalahkan tim dari Aceh yang menurut kita sudah bagus, ternyata daerah lain ada yang lebih bagus.
Dalam berbagai pertandingan, kita harus berorientasi pada hasil, bukan pada proses, misalnya, dalam pertandingan sepak bola, pemenangnya adalah yang paling banyak mencetak goal, bukan yang paling banyak menguasai bola.
Demikian halnya dalam MTQ, kita harus berorientasi pada hasil yang akan dicapai.
Sehingga proses persiapan dan TC harus mengarah kepada hasil tersebut.
Setiap orang yang pernah menjadi dewan juri pasti memahami apa kebutuhan dan standar yang diperlukan untuk memenangkan pertandingan.
Untuk menuju target tersebut bisa saja Aceh mengundang pelatih tingkat nasional untuk membekali para calon peserta lomba MTQ ke depan.
Baca juga: Empat Warga Langsa Ditangkap Edarkan Sabu-sabu
Tidak saling menyalahkan
Selanjutnya yang harus kita lakukan adalah menerima kekalahan dan tidak saling menyalahkan.
Tetapi kekalahan yang sama setiap kali bertanding adalah sesuatu yang memalukan.
Seorang yang cerdas pasti tidak akan jatuh ke lobang yang sama dua kali, apalagi berkali-kali.
Dalam pepatah disebutkan, buruk muka cermin dibelah, yang merupakan peringatan kepada kita semua untuk tidak menuduh orang lain jika kita sendiri yang belum maksimal melakukan usaha yang diperlukan.
Introspeksi Diri
Momen MTQ Nasional tahun 2020 ini menjadi saat yang tepat bagi Stakeholdes di Aceh untuk instrospeksi diri.
Karena prestasi Aceh bukan hanya rontok di bidang MTQ saja, di sektor lain juga banyak yang harus dibenahi.
Misalnya di bidang pendidikan, pada tahun 2019, Aceh berada pada peringkat ke-27 dari 34 provinsi di Indonesia.
Di bidang investasi, realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) periode Juli-September (triwulan 3) tahun 2020, Aceh berada pada peringkat ke-28 dari 34 provinsi.
Sementara di sektor yang kurang menyenangkan, Aceh sering mendapat rekor tinggi, misalnya kekerasan seksual di Aceh, menempati peringkat ke-3 di tahun 2018 dan peringkat ke-2 tahun 2019.
Pada waktu yang sama, Aceh menempati posisi ke-3 stunting pada balita, dan posisi paling tinggi stunting pada bayi dibawah dua tahun (baduta).
Hal itu disampaikan Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Aceh, Dr Ir Dyah Erti Idawati MT saat menghadiri kegiatan Stategic Moment of Reflection yang diselenggarakan oleh UNICEF Indonesia di Jakarta, Kamis (22/8/2019).
Jumlah penderita penyakit gangguan jiwa di provinsi Aceh merupakan yang tertinggi di Indonesia, bedasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 yang dipublikasikan oleh Kementerian Kesehatan.
Di bidang kemiskinan, pada tahun 2020 Aceh menduduki urutan tertinggi ke-2 di Sumatera.
Di sektor narkoba juga tak kalah bahaya, Badan Narkotika Nasional (BNN) merilis Aceh peringkat ke-2 daerah rawan peredaran dan rentan Narkoba tahun 2019.
Kelihatannya sangat ruwet, pertanyaannya apakah Gubernur Aceh, Nova Iriansyah akan mampu menyelesaikan semua persoalan tersebut dalam sisa jabatan yang kurang dua tahun lagi?
Tentu saja Jawabannya sangat berat, tetapi semua kita berharap setidaknya Aceh mengalami perbaikan di masa-masa berikutnya, sesuai dengan visi misi Aceh Hebat yang sudah disusun.
*) PENULIS adalah Direktur Intermedia Research Indonesia/ Kepala Biro Humas dan Protokol Pemerintah Aceh Periode 2017-2018)
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.