Wacana Presiden 3 Periode, Tanggapan Refly Harun: Cukup 1 Periode, Tapi Diperpanjang Sampai 7 tahun

Editor: Faisal Zamzami
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Refly Harun yang mengatakan bahwa penerbitan UU KPK hasil revisi memang dibuat pejabat publik dan penegak hukum agar KPK tidak melakukan Operasi Tangkap Tangan.

SERAMBINEWS.COM - Wacana perpanjangan masa jabatan presiden bisa sampai tiga periode ini kembali mengemuka di media sosial akhir-akhir ini.

Berawal dari pernyataan Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari yang menyebutkan adanya kemungkinan skenario luar biasa berduetnya Joko Widodo dengan Prabowo Subianto.

Menurut Qodari, Jokowi memiliki kemungkinan menjabat sebagai presiden dalam tiga periode melalui amandemen UUD 1945.

Pengamat politik, Refly Harun, memberikan tanggapannya terkait wacana presiden tiga periode yang belakangan ini kembali ramai diperbincangkan.

Menurut dia, justru ada baiknya masa jabatan presiden hanya satu periode saja tetapi diperpanjang menjadi 6 sampai 7 tahun.

Hal itu agar presiden yang terpilih benar-benar menyelesaikan program-program kerjanya dan tidak malah terpikir untuk terpilih kembali.

Masa jabatan 6-7 tahun, kata Refly Harun, dinilai lebih efektif daripada 5 tahun apalagi tiga periode.

"Masa jabatan itu cukup satu kali saja tetapi diperpanjang misalnya 6 tahun atau 7 tahun maksimal," kata Refly Harun dalam video yang diunggah dikanal YouTube-nya, Senin (21/12/2020).

"Sehingga presiden yang terpilih benar-benar berkonsentrasi untuk menyelesaikan masa jabatannya dan tidak berpikir untuk terpilih kembali (mencalonkan -Red)," lanjut dia.

Refly Harun menambahkan, namun apabila ingin menjabat lebih dari satu periode, yang bersangkutan harus mencalonkan lagi setelah jeda satu periode.

Sementara itu, bicara soal masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Refly Harun menilai itu tidak berjalan efektif, utamanya di periode pertama.

Sebab di periode pertama tersebut, Jokowi tidak benar-benar melaksanakan tugasnya selama lima tahun penuh.

"Kerja periode pertama itu, satu tidak full 5 tahun karena 6 bulan pertama itu adjustment, lalu bekerja selama 2,5 tahun tapi 2 tahun terakhir sudah persiapan untuk Pilpres agar terpilih kembali karena tahapan pilpresnya panjang," terang Refly Harun.

Sehingga di 2 tahun terakhir, terlihat Jokowi mulai melakukan banyak program pembangunan dan sebagainya.

Yang mana, menurut Refly Harun, hal tersebut tujuannya agar Jokowi bisa terpilih kembali.

Selain itu, pemerintahan Jokowi juga terlihat membelenggu demokrasi dengan mempertahankan aturan-aturan yang Presidential Threshold, yakni ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden.

"Akhirnya kan kita cuma hanya dua pasangan calon saja, padahal banyak sekali bibit pemimpin bangsa, mereka tidak bisa mencalonkan karena pencalonan itu bersifat elitis dan oligarkis," ungkap dia.

Lebih lanjut, Refly Harun mengatakan usul memang tidak lepas dari dinamika sosial yang terjadi, dan itu sah-sah saja terjadi dalam dunia politik.

Namun demikian, yang terpenting adalah pemerintah tidak boleh mengubah sebuah kebijakan di tengah jalan.

"Yang paling penting adalah kita tidak boleh mengubah sebuah kebijakan di tengah jalan, ketika sudah ada keputusan bahwa orang menjabat selama 5 tahun dan bisa dipilih kembali untuk masa jabatan berikutnya," ucap Refly Harun.

Ahli tata hukum negara ini kemudian juga mengingatkan, soal masa jabatan, saat ini boleh saja didiskusikan, tetapi hasilnya tidak diberlakukan untuk Presiden Jokowi.

Indo Barometer: Potensi Jokowi Tiga Periode Jika Maju Bersama Prabowo Subianto

Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari, menyampaikan pandanganya terkait dinamika politik pada tahun 2021 setelah rampungnya gelaran pilkada serentak 2020.

Qodari menilai, kondisi akan aman karena tidak ada peristiwa politik besar seperti pilkada serentak 2020.

Hal itu disampaikannya saat menjawab pertanyaan moderator tentang dinamika politik 2021 dalam webinar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) yang bertajuk “Indonesia’s Economic and Political Outlook 2021” Kamis (17/12/2020).

Menurut Qodari, merujuk Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pada tahun 2021, 2022 dan 2023 nanti, tidak akan ada  pemilihan kepala daerah.

Pilkada serentak total baru dilaksanakan November 2024 usai pemilu April tahun yang sama.

“Jadi tidak ada pilkada pada tahun 2022 dan 2023 jika melihat peraturan yang ada di UU nomor 10 tahun 2016. Artinya tidak ada pilkada gubernur di daerah strategis  seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur,” ujarnya.

Qodari menambahkan, kemungkinan di tahun 2021 akan ada pembahasan pmengenai revisi UU Pilkada dan Pemilu oleh DPR, di mana isu yang akan dibahas diantaranya terkait kemungkinan akan diadakan lagi pilkada tahun 2022 dan 2023.

“Khususnya oleh partai-partai menengah dan kecil, tapi menurut saya partai-partai besar seperti PDIP, kemudian Gerindra dan Golkar ada kemungkinan menolak,” ujarnya.

Penolakan tiga partai tersebut, kata Qodari, dengan syarat mereka sudah mempunyai rencana atau kesepakatan mengenai ‘design’ politik pada pilpres 2024 yang akan datang.

“Design politiknya seperti apa, ada beberapa kemungkinan termasuk kemungkinan-kemungkinan yang ‘extreme’ atau luar biasa,” ucapnya.

Qodari menjelaskan, kemungkinan yang luar biasa itu setidaknya ada dua. 

Direktur Eksekutif Indobarometer, Muhammad Qodari (Tribunnews.com/Igman Ibrahim)
Pertama, kemungkinan  Joko Widodo maju presiden untuk ketiga kalinya, tetapi kali ini dengan Prabowo Subianto sebagai Wakil Presidennya.

"Tentu saja hal ini memerlukan amandemen UU Dasar 1945,” ucapnya.

Kedua, lanjut Qodari, Prabowo maju sebagai calon Presiden dengan wakilnya berasal dari PDI Perjuangan.

“Kemungkinan skenario pertama bisa saja terjadi untuk menciptakan stabilitas politik sekaligus menghindari pemilu yang mengerikan seperti pada Pilpres sebelum-sebelumnya yang melahirkan dikotomi Cebong dan Kampret,” katanya.

Qodari menilai sosok Jokowi dan Prabowo merupakan representasi atau simbol dari pengelompokan di masyarakat Indonesia, sedemikian hingga pada momentum Pilpres 2019 terlahir istilah ‘cebong’ dan ‘kampret’ yang bertahan sampai saat ini.

"Jika keduanya bergabung maka tidak ada lagi dikotomi ‘cebong’ dan ‘kampret’ pada pemilu yang akan datang," ujarnya.

“Makanya kemungkinan semacam itu bisa saja terjadi, yaitu demi menjaga stabilitas dan menghindari Pemilu Presiden yang mengerikan dimana terjadi pembelahan seperti halnya cebong dan kampret di pilpres 2019,” pungkas dia.

Baca juga: Marhaban Ditetapkan Sebagai Sekda Definitif, Ini Penegasan Bupati Aceh Barat

Baca juga: Jadwal Kapal Lambat & Cepat dari Banda Aceh - Sabang Serta Sebaliknya, 6 Kali Sehari Selama Liburan

Baca juga: Pelancong yang Hendak Berlibur Tahun Baru ke Medan Wajib Miliki Surat PCR

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Tanggapan Refly Harun soal Wacana Presiden 3 Periode: Masa Jabatan Cukup 1 Periode tapi Diperpanjang, 

Berita Terkini