Kilas Balik Tsunami Aceh 2004

16 Tahun Berlalu, Ini Data dan Fakta Dahsyatnya Gempa dan Tsunami Aceh Tahun 2004

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Satu-satunya rumah yang tersisa di Desa Lambung, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh setelah tsunami 26 Desember 2004 itu. Jelang dewasa, kawasan ini adalah rumah keduaku. Terlalu banyak kenangan di sini. Tempat belajar, bermain, tertawa, dan ...I Love You, Lambung. Foto ini saya rekam, Rabu (14 hari setelah tsunami) Pukul 16:58 Wib, dari depan lorong Merpati itu.

SERAMBINEWS.COM -  Tanggal 26 Desember 2020, masyarakat Aceh akan mengenang kembali 16 tahun peristiwa bencana alam gempa dan tsunami Aceh.

Kepedihan mendalam dirasakan oleh masyarakat Aceh kala itu.

Dahsyatnya dua peristiwa yang terjadi hanya berselisih waktu sekian menit tersebut telah meluluh lantakkan daerah pesisir barat Aceh.

Di pengujung tahun 2004, tepatnya pada Minggu 26 Desember 2004 sekitar pukul 08.30 WIB, sepanjang 800 km wilayah pesisir barat Aceh luluhlantak oleh gelombang tsunami, setelah beberapa saat sebelumnya diguncang gempa dahsyat berkekuatan 9 SR. 

Ratusan ribu jiwa melayang, jutaan rumah serta bangunan perkantoran hancur akibat gempa dan hempasan gelombang tsunami.

Tanah wilayah pesisir barat Aceh menjadi rata, yang bersisa hanya puing-puing bangunan dan mayat korban Tsunami yang berserakan di mana-mana.

Listrik juga seketika padam karena dampak yang ditimbulkan.

Baca juga: Kado Istimewa Ultah ke-23 Delisa, Gadis Cilik yang Kehilangan Kaki saat Tsunami Aceh

Baca juga: Tuha Rilis Single Terbaru, Kenang Tsunami Aceh Lewat Musik dan Ilustrasi

Tsunami Aceh 2004 menjadi bencana alam terbesar di Indonesia sejak meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883.

Tak hanya di Aceh, gelombang tsunami ini  juga menerjang beberapa titik lokasi pantai Sri Lanka, India, dan Thailand.

Kini 16 tahun sudah bencana besar itu melanda Aceh dan sekitarnya.

Meski sudah berlalu, setidaknya ada beberapa fakta yang perlu diketahui sebagai pengingat terkait bencana yang membuat Aceh berduka dalam waktu cukup lama.

Melansir dari berbagai sumber, berikut ulasan terkait data dan fakta gempa dan tsunami Aceh tahun 2004.

1. Gempat terbesar dan terkuat

Mengutip Kompas.com, Tsunami Aceh terjadi karena interaksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia.

Gempa besar dengan magnitudo 9,0 ini tergolong gempa dangkal, berpusat di dasar laut pada kedalaman 10 kilometer yang menimbulkan gelombang tsunami.

Gempa tersebut menjadi bencana paling mematikan pada abad ke-21.

Dasar samudera yang naik di atas palung Sunda ini mengubah dan menaikkan permukaan air laut di atasnya.

Dengan demikian, permukaan datar air laut ke arah pantai barat Sumatera ikut terpengaruh berupa penurunan muka air laut.

Beberapa gempa terjadi sebelum gelombang air laut menyapu daratan dan yang paling lama berkisar antara 8-10 menit.

Durasi gempa ini merupakan catatan sejarah tersendiri.

Mengutip Tribun Palu sebagaimana diwartakan CNN, gempa yang terjadi pada 26 Desember 2004 di Aceh merupakan gempa bumi terkuat sejak gempa bumi yang terjadi di Prince William Sound, Alaska pada 28 Maret 1964.

Gempa itu juga merupakan gempa dengan magnitudo terkuat ketiga sejak tahun 1900.

Gempa bumi terkuat lainnya adalah gempa bumi magnitudo 9.5 yang terjadi di Chile pada 22 Mei 1960 dan gempa bumi magnitudo 9.2 di Alaska, 28 Maret 1964.

Dua gempa bumi kuat tersebut juga memicu tsunami.

Baca juga: VIDEO Kerusakan Gempa dan Tsunami Palu, Disusul Likuifaksi yang Menelan Permukiman

Baca juga: VIDEO Masjid Rahmatullah Lampuuk Saksi Bisu Kedahsyatan Tsunami, Peringati Nabi Muhammad SAW 1442 H

2. Gelombang tsunami tinggi

Setelah gempa yang panjang dan memiliki magnitudo besar, gelombang pasang menyerbu pantai didahului surutnya air laut.

Kemudian, diikuti oleh gelombang yang sangat besar.

Gelombang tsunami menerjang daratan dan masuk ke dalam kota.

Diperkirakan gelombang tsunami yang menghantam pesisir Aceh setinggi 30 meter.

Kecepatannya mencapai 100 meter per detik atau 360 kilometer per jam.

Tsunami tinggi ini melanda seluruh pantai barat Aceh, Sumatera bagian utara, bahkan pantai-pantai Sri Lanka, India, Thailand, Malaysia, Somalia, Bangladesh, Maladewa, dan Kepulauan Cocos

3. Jenis tsunami far field

Mengutip Kompas.com, gempa yang terjadi di Aceh pusat gempanya berada pada kedalaman 10 km.

Geomorfologi laut dan batimetri atau kedalaman laut dapat memengaruhi kuat dan tingginya gelombang tsunami yang menerjang pantai.

Bentuk geologi pantai di Aceh tergolong rumit.

Di daerah itu teluk yang berasosiasi dengan tanjung telah menyebabkan konsentrasi energi gelombang di sekitar tanjung.

Tsunami tergolong jenis far field yang memiliki perambatan hingga 1.000 km lebih.

Tsunami yang muncul akibat gempa pertama di Aceh penjalarannya ke utara dan barat laut hingga ke Sri Lanka dan Maladewa, masing-masing sekitar dua dan tiga jam setelah gempa Aceh.

Sementara ke arah selatan, tsunami menerjang Pulau Simeulue, setengah jam kemudian.

Adapun gelombang pasang sampai ke Pulau Nias satu jam, lalu ke Kepulauan Mentawai satu setengah jam sesudah gempa.

4. Struktur daratan Aceh berubah

Dampak lain yang ditimbulkan oleh tsunami adalah terjadinya perubahan struktur bumi, yaitu naik-turunnya daratan Aceh.

Melansir Serambinews.com, berdasarkan survei yang dilakukan oleh International Tsunami Survey Team di Pulau Simeulu, diperoleh fenomena naiknya daratan di pesisir barat Simeulu mencapai 1,5 m sepanjang 1 km.

Sebaliknya di Meulaboh, Calang, kawasan persawahan, kebun, dan ladang, telah berubah menjadi lautan.

5. Ratusan ribu jiwa melayang

Dikutip dari Kompas.com yang melansir data Bank Dunia, jumlah korban akibat tsunami Aceh mencapai 167.000 orang, baik itu yang meninggal dunia maupun hilang.

Selain itu, tak kurang dari 500.000 orang kehilangan tempat tinggal.

Jumlah korban jiwa itu belum termasuk korban tsunami di wilayah lain.

Seperti diketahui, tsunami yang terjadi di Aceh diakibatkan gempa dangkal di laut bermagnitudo 9,0, yang jaraknya sekitar 149 kilometer dari Meulaboh.

Secara keseluruhan ada 14 negara yang terkena dampak tsunami dengan jumlah korban mencapai 230.000 jiwa.

6. Kerugian meteril hingga triliunan

Pemerintah saat itu menaksir kerugian akibat tsunami mencapai puluhan triliun.

Hal itu lantaran porak-porandanya ratusan ribu rumah serta fasilitas umum dan sosial masyarakat.

Berdasarkan data yang pernah dikutip Serambinews.com dari Buku Tsunami dan Kisah Mereka, diterbitkan oleh Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Aceh, menurut cacatan lembaga United Nation Informasion Center, kerugian terbesar akibat impasan gelombang tsunami adalah di sektor perikanan.

Di sejumlah negara yang terkena tsunami, kerugiannya mencapai US$500 juta (kira-kira 4,6 triliun rupiah).

Angka itu termasuk sebanyak 111 ribu kapal hancur atau rusak, 36.000 mesin hilang, dan 1,7 juta peralatan perikanan rusak dan kerusakan terparah dialami oleh Aceh, Indonesia.

Di luar catatan itu, fakta di lapangan menunjukkan banyak kerugian material lain yang tak terhitung jumlahnya diakibatkan hantaman tsunami.

Dalam waktu tujuh menit, kota-kota di sepanjang pesisir Aceh, termasuk Banda Aceh sebagai ibukota provinsi, menjadi lautan yang dihiasi mayat dan puing-puing bangunan.

Sejauh mata memandang, yang tersisa di kawasan pesisir hanyalah bekas-bekas reruntuhan, hampir semua bangunan rata dengan tanah.

Areal tambak dan persawahan binasa, jaringan infrastruktur seperti jalan dan jembatan hancur total.

Begitu pula dengan sarana telekomunikasi dan listrik yang seketika itu padam.

Kerusakan di kawasan pesisir Aceh saat itu sangat menyedihkan.

Akibat dorongan ombak yang begitu kuat dan dahsyat, Kota Banda Aceh, Kota Meulaboh, Kota Calang, dipenuhi bermacam sampah, puing-puing reruntuhan, kayu, pepohonan, dan sampah material lainnya.

7. Ribuan masyarakat kehilangan mata pencaharian

Bukan cuma itu, berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan RI, tak kurang dari 7000 nelayan di Aceh kehilangan mata pencaharian.

Bahkan, 90 persen komunitas masyarakat pesisir dan prasarana perikanan di lokasi bencana hancur porak poranda.

Semua perkampungan nelayan seperti Uleelheu, Deah Raya, Lamteungoh, Lampuuk, Kahju, Alue Naga, dan Lampulo di Banda Aceh; Padang Seurahet di Meulaboh; Krueng Mane di Aceh Utara; Pante Raja di Pidie, tak lagi punya wujud.

Di sini tak ada bangunan yang tersisa. Semua rata dengan tanah. Para nasib pembudidaya tambak juga tak kalah memprihatinkan.

Sekitar 500 hektare tambak udang dan ikan hancur binasa.

Selain tambak, fasilitas perikanan lain yang berada di berbagai pesisir Aceh juga rusak diterjang tsunami.

8. Keberangkatan jamaah haji tertunda

Tepat pada hari terjadinya Tsunami, yaitu tanggal 26 Desember 2004, harusnya calon jamaah haji (Calhaj) Aceh kloter 8 sesuai jadwal diberangkatkan ke Mekkah.

Tak sedikit dari para jamaah calhaj yang menjadi korban Tsunami ketika itu.

Data yang dihimpun dari Arsip Harian Serambi Indonesia edisi 14 Januari 2005, jumlah calhaj asal Aceh untuk tahun 2004 sebanyak 5.541, ditambah petugas haji sebanyak 85 orang, yang akan diberangkatkan dalam 16 kloter.

Usai bencana alam Tsunami, para jamaah calon haji diminta untuk melakukan daftar ulang kembali bagi yang ingin tetap melaksanakan ibadahnya ke tanah suci, hingga batas tanggal 14 Januari 2005.

Sementara itu, pelaksanaan wukuf di Arafah ketika itu dilaksanakan pada tanggal 20 Januari 2005.

Calhaj yang tergabung dalam kloter 12 hingga 16 ditunda keberangkatannya, untuk dialihkan ke embarkasi Polonia Medan, akibat musiab gempa dan Tsunami.

9. Krisis Gula hampir seluruh Aceh pasca Tsunami

Pasca Tsunami, hampir seluruh wilayah Aceh mengalami krisis gula.

Bahan sembako ini menjadi barang yang langka di Aceh, akibat tidak adanya pasokan gula dari luar.

Jikapun ada, harganya terus melambung tinggi.

Dari pemberitaan dokumen Harian Serambi Indonesia, krisis gula tak hanya terjadi di wilayah amukan gelombang tsunami, yakni Kota Banda Aceh dan Aceh Besar, tapi juga berdampak di wilayah lain seperti Pidie, Bireuen, Sabang.

Krisis ini terus terjadi hingga beberapa minggu pasca terjadinya tsunami.

Akibat dampak itu, sejumlah pengusaha warung kopi di Aceh ada yang terpaksa menutup usaha mereka.

10. Pemerintahan Aceh diambil alih pusat

Pasca-kejadian, kendali pemerintahan di Aceh diambil alih pemerintah pusat.

Hal itu berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2004 tentang Langkah-langkah Penanganan Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi NAD dan Sumatera Utara.

Melansir Kompas.com dari dokumentasi Harian Kompas, dalam instruksi itu disebutkan seluruh pejabat eselon I Departemen Dalam Negeri (Depdagri) harus melakukan dukungan langkah-langkah komprehensif untuk bencana alam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut).

Langkah itu meliputi penanganan darurat, pemulihan mental, rehabilitasi, serta dukungan penyelenggaraan pemerintah daerah (pemda) terutama di NAD.

Untuk itu dibentuk Tim Asistensi Pemulihan Pemda NAD dan Sumut yang beranggotakan pejabat eselon I dan II.

Dalam pelaksanaannya, tim asistensi dibantu para praja tingkat III (nindya praja) dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).

11. Tiga hari berkabung

Tsunami Aceh 2004 menjadi bencana alam terbesar di Indonesia sejak meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883.

Kepedihan akibat bencana dahsyat itu dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, termasuk dunia.

Pasca Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 silam, Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono pun menetapkan tiga hari masa berkabung.(Serambinews.com/Yeni Hardika)

Berita Terkini