“Memang menurut data Dinkes dan BPJS, dari 5 juta penduduk Aceh, sebanyak 2,1 juta rakyat Aceh ditanggung oleh JKN-KIS. Sedangkan 2 juta lebih lagi ditanggung oleh JKA. Tapi tidak kita mengetahui, siapa saja warga Aceh yang masuk dalam data kesepertaan BPJS Kesehatan itu,” kata Falevi.
Laporan Masrizal | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mempertanyakan, database warga Aceh yang menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kepada Pemerintah Aceh.
Sebab, menurut Ketua Komisi V DPRA, M Rizal Falevi Kirani kepada Serambinews.com, Selasa (12/1/2021), hingga saat ini pihaknya belum mengetahui siapa saja warga Aceh yang masuk dalam daftar penerima layanan kesehatan tersebut.
Padahal, kata Falevi, Komisi V sudah pernah meminta kepada Dinas Kesehatan Aceh dalam rapat kerja agar secepatnya mengirimkan nama-nama rakyat Aceh yang masuk kepesertaan JKN-KIS dan JKA sesuai dengan by name by address.
Tapi, tidak pernah dikirim.
“Memang menurut data Dinkes dan BPJS, dari 5 juta penduduk Aceh, sebanyak 2,1 juta rakyat Aceh ditanggung oleh JKN-KIS. Sedangkan 2 juta lebih lagi ditanggung oleh JKA. Tapi tidak kita mengetahui, siapa saja warga Aceh yang masuk dalam data kesepertaan BPJS Kesehatan itu,” kata Falevi.
Makanya, hasil rapat kerja antara Komisi V DPRA dengan Pimpinan DPRA yang juga dihadiri oleh Tenaga Ahli Komisi V di ruang kerja ketua DPRA Senin, 4 Januari 2021 menyimpulkan, bahwa data peserta BPJS Kesehatan di Aceh belum jelas siapa saja penerima manfaat.
Baca juga: Anggaran untuk Polres Aceh Utara Tahun Ini Meningkat dari Tahun 2020, Ini Jumlahnya
Selain tidak mengetahui database peserta BPJS Kesehatan, sambung Falevi, DPRA juga tidak mengetahui kapan dilaksanakannya perjanjian kerja sama Penyelenggara Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) untuk tahun 2021 yang sudah ditandatangani Pemerintah Aceh.
Dalam perjanjian kerja sama itu, Pemerintah Aceh menggelontorkan Rp 1,2 triliun APBA ke BPJS.
"Pembiayaan ini seharusnya mendapat persetujuan DPRA, yang angka di atas 5 miliar harus ada persetujuan DPRA, apalagi di atas 1 triliun," ujarnya.
Selain itu, sambung Ketua Komisi V DPRA, amanah Qanun Kesehatan juga menyebutkan, bahwa fokus penanganan kesehatan untuk langkah preventif dan promotif, bukan fokus langkah kuratif dan rehabilitatif.
"Selama ini seakan-akan persoalan kesehatan Aceh hanya mengobati orang sakit saja, padahal penyebab sakit perlu diketahui, perlu dicegah dan disosialisasi. Seperti kasus stunting, gizi buruk, malaria, dan TBC yang merupakan penyakit nomor satu secara nasional," kata mantan aktivis ini.
Karena itu, Komisi V akan segera duduk dengan Pemerintah Aceh untuk mempertanyakan persoalan kerja sama dengan BPJS Kesehatan, dan akan mengambil langkah konkret.
Baca juga: Lebih Satu Bulan, Aceh Barat Daya Nihil Kasus Covid-19
Sehingga, kebijakan yang dikeluarkan benar-benar dapat memenuhi semua kebutuhan pembangunan kesehatan masyarakat Aceh.