Luar Negeri

Peneliti Ungkap Keterlibatan Prancis dalam Genosida di Rwanda, Renggut Nyawa 800 Ribu Orang

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang anak berada di areal pemakaman massal korban genosida di Rwanda pada tahun 1994.

SERAMBINEWS.COM, PARIS – Seorang peneliti mengungkap keterlibatan negara Prancis dalam aksi pembasmian etnis alias genosida di Rwanda pada tahun 1994.

“Kebijakan negara Prancis dapat dilihat sebagai keterlibatan dalam genosida Rwanda tahun 1994,” menurut seorang peneliti yang mempelajari arsip resmi negara.

Francois Graner, direktur penelitian di National Center for Scientific Research (CNRS) di Paris Diderot University, telah meneliti arsip resmi tentang peran Prancis dalam genosida, yang menewaskan sekitar 800.000 orang.

Penelitian dilakukan setelah Dewan Negara membuka arsip pada Juni lalu, atas perintah pengadilan.

Dalam wawancara dengan Anadolu Agency yang diterbitkan Rabu (20/1/2021), Graner mengatakan kebijakan Prancis adalah menjaga Rwanda tetap di bawah pengaruhnya.

"Semua arsip mengkonfirmasi dukungan Prancis untuk Hutu. Pejabat Prancis diberi tahu bahwa ada persiapan untuk genosida," katanya.

Prancis mendukung Hutu tidak hanya selama genosida, tetapi juga sebelum dan sesudah, kata Graner.

Graner juga menjadi bagian dari kelompok Survie (Bertahan dalam bahasa Inggris), sebuah LSM yang mengecam semua bentuk intervensi neokolonialis Prancis di Afrika.

"Prancis juga memberikan dukungan militer yang intens untuk menjaga rezim tetap hidup. Dukungan militer ini berupa pelatihan militer dan penyediaan senjata sebelum genosida. Dukungan senjata berlanjut secara diam-diam selama dan setelah genosida," tambahnya.

Graner mengatakan bahwa "tentara Prancis dan tentara bayaran" yang berada di Rwanda pada tahun 1994 mungkin telah berpartisipasi dalam serangan terhadap Presiden Rwanda saat itu, Juvenal Habyarimana.

Menurutnya, insiden ini juga harus diselidiki.

“Arsip menunjukkan bahwa pada Januari 1994, Prancis mengirim senjata ke Rwanda ketika Rwanda seharusnya dilucuti, tetapi Perserikatan Bangsa-Bangsa menyita senjata-senjata ini,” tambahnya.

Graner mengatakan bahwa dia berencana menerbitkan hasil penelitiannya.

Namun, dia belum bisa mengakses arsip militer tentang genosida.

Genosida 1994 dimulai pada 7 April 1994, dan merenggut nyawa sekitar 500.000-800.000 etnis Tutsi dalam kurun waktu 100 hari.

Baca juga: Menteri Luar Negeri Zimbabwe Meninggal Dunia, Seusai Terinfeksi Virus Corona

Baca juga: Di Tengah Lockdown, Tim Haji Uma Bawa Pulang 3 TKI dari Malaysia, Dua di Antaranya Lumpuh

Bermula dari Penembakan Presiden

Dikutip dari Wikipedia.org, peristiwa genosida Rwanda adalah sebuah pembantaian 800.000 suku Tutsi dan Hutu moderat oleh sekelompok ekstremis Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe.

Aksi pembantaian ini terjadi dalam periode 100 hari pada tahun 1994.

Kala itu, Rwanda adalah sebuah negeri berpenduduk 7,4 juta jiwa dan merupakan negara terpadat di Afrika Tengah.

Peristiwa ini bermula pada tanggal 6 April 1994, ketika Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana menjadi korban penembakan saat berada di dalam pesawat terbang.

Beberapa sumber menyebutkan Juvenal Habyarimana tengah berada di dalam sebuah helikopter pemberian pemerintah Prancis.

Saat itu, Habyarimana yang berasal dari etnis Hutu berada dalam satu heli dengan presiden Burundi, Cyprien Ntarymira.

Mereka baru saja menghadiri pertemuan di Tanzania untuk membahas masalah Burundi.

Sebagian sumber menyebutkan pesawat yang digunakan bukanlah helikopter melainkan pesawat jenis jet kecil Dassault Falcon.

Disinyalir, peristiwa penembakan keji itu dilakukan sebagai protes terhadap rencana Presiden Habyarimana untuk masa depan Rwanda.

Habyarimana berencana melakukan persatuan etnis di Rwanda dan pembagian kekuasaan kepada etnis-etnis itu.

Rencana itu telah disusun setahun sebelumnya, seperti tertuang dalam Piagam Arusha (Arusha Accord) pada tahun 1993.

Untuk diketahui, Habyarimana menjadi presiden Rwanda sejak tahun 1993.

Sebelumnya ia menempati posisi sebagai Menteri Pertahanan Rwanda.

Pada tahun 1990-an Habyarimana merintis suatu pemerintahan yang melibatkan tiga etnis di Rwanda yakni Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%).

Habyarimana mengangkat perdana menteri Agathe Uwilingiyama dari suku Tutsi.

Pengangkatan dari suku berbeda jenis ini jelas tidak diterima oleh kelompok militan yang ingin mempertahankan sistem pemerintahan satu suku.

Kekhawatiran sekaligus kekecewaan berlebihan inilah yang akhirnya memuncak menjadi tindak pembunuhan terhadap presiden sendiri.

Habyarimana akhirnya dibunuh bersama presiden Burundi oleh kelompok militan penentangnya ketika mereka berada di dalam pesawat (atau helikopter) pemberian Presiden Prancis Francois Mitterand

Banyak yang Menyangka Ini Tugu Cina, Ternyata Ada Sejarah Heroik di Balik Monumen di Pasar Keumire

Days of Glory, Kisah Heroik Tentara Islam Membebaskan Prancis dari Cengkeraman Nazi

Pembunuhan Massal

Peristiwa tragis penembakan Presiden Habyarimana kontan mengakhiri masa 2 tahun pemerintahannya.

Lebih mengerikan lagi, peristiwa ini memicu pembantaian etnis besar-besaran di Rwanda. Hanya dalam beberapa jam setelah Habyarimana terbunuh, seluruh tempat di Rwanda langsung diblokade.

Pasukan khusus Pengawal Presiden dengan bantuan instruktur Prancis segera beraksi.

Mereka bekerja sama dengan kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi.

Dimulai dari ibu kota Rwanda, ketiga kelompok bersenjata itu mulai membunuh siapa saja yang mendukung piagam Arusha tanpa memedulikan status dan sebagainya.

Perdana Menteri Rwanda yang berasal dari suku Tutsi tak lepas dari pembunuhan kelompok bersenjata.

Selain dia, masih ada nama-nama dari kalangan menteri, pastor dan siapa saja yang mendukung maupun terlibat dalam negosiasi piagam Arusha.

Sebagian besar korban digeletakkan begitu saja dan tidak dimakamkan secara layak.

Paling umum saat itu hanyalah ditimbun dengan tanah sekadarnya.

Pegunungan Gisozi disinyalir menjadi tempat pemakaman massal.

Di tempat ini diperkirakan terdapat 250.000 jasad warga tak berdosa korban konspirasi keji.

Dikatakan konspirasi, karena kemudian berkembang cerita bahwa kudeta ini dilakukan pemimpin Front Patriotik Rwanda, RPF (Rwandan Patriotic Front) yaitu Paul Kagame.

Usai pembunuhan massal, Kagame tampil sebagai Presiden mengantikan Habyarimana.(*)

Berita Terkini