Sekali lagi diingatkan, membenarkan Isra' dan Mi'raj jangan sampai salah pendekatan (alat). Satu-satunya pendekatan yang relevan adalah pendekatan teologi (mengimani). Pendekatan ilmiah saat ini mungkin belum mampu menafsirkannya atas dasar ketidaktahuan manusia, Allah berfirman; ".Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya." (QS. An-Bahl: 8).
Itu artinya, manusia bisa jadi tidak tahu atau belum tahu bahwa ada kendaraan ciptaan Allah yang melebihi kecepatan cahaya. Ini kembali membantah oknum fisika di atas yang dengan berani mengatakan bahwa tidak mungkin Nabi pergi ke langit hanya satu malam.
Oleh sebab itu, manusia tidak boleh tergesa-gesa menyimpulkan. Sebagaimana Firman-Nya; "Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa." (QS. Al-Isra: 11).
Ingatlah, orang yang berilmu (sains) sering kali ilmunya mengkeruhkan fikirannya, tetapi orang yang beriman selalu menenangkan fikirannya. Orang berilmu gampang ia ubah pendapatnya.
Tapi iman, ia sulit untuk mengubah keyakinannya. Lebih baik dari itu, keduanya mesti disinergikan.
Ketika sains tidak mampu menangkap kebenaran dalam Alquran, maka disanalah keimanan mengambil peran. Itulah mengapa, tujuan utama yang diperoleh dari Isra' dan Mi'raj adalah perintah shalat. Sebab shalat adalah alat yang akan menumbuhkan iman.
Shalat itu kebutuhan hati dan akal. Ketika susah misalnya, pasti Muslim lebih memperbanyak shalat. Shalat yang khusyuk akan membuat hati menjadi bersih, setelah hati bersih maka dengan sendirinya akan membenarkan Isra' dan Mi'raj.
Bertemu Allah
Berdasarkan literasi sejarah, ketika Nabi menjelaskan peristiwa Isra' dan Mi'raj, ada salah seorang masyarakat yang mengklaim bahwa pertemuan Nabi dengan Tuhan adalah berita bohong. Padahal, Nabi sudah membuktikan secara logis tentang bukti kebenaran perjalanannya.
Seperti; jumlah pintu Masjidil Aqsha, sosok pengembala ternak yang bertemu di perjalanan, dan lain sebagainya. Namun mereka yang ingkar mencoba meminta bukti agar Nabi menjelaskan tentang `seperti apa itu Allah Swt'. Kenyataannya, Nabi tidak bisa menjelaskan itu, para orientalis kemudian menjadikan ini sebagai alasan bahwa perjalanan Isra' dan Mi'raj adalah berita palsu.
Padahal, ketidakmampuan Nabi ketika diminta menjelaskan Dzat Allah, bukan berarti Nabi tidak bertemu dengan-Nya. Melainkan karena Nabi tidak bisa menjelaskan betapa sempurnanya Dzat Allah. Sebegitu sempurnanya, sehingga tidak ada yang bisa dianalogikan untuk mengandaikannya. Pada Alquran disebutkan; "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia." (QS. Asy-Syura: 11).
Penjelasan warna `kuning' misalnya. Bagaimana caranya menjelaskan warna kuning kepada orang lain yang belum pernah melihatnya. Tentu saja akan sangat mudah jika memberi contoh yang mirip atau serupa. Seperti buah-buahan yang berwarna kuning, daun yang menguning, dan lain sebagainya.
Namun, apakah warna kuning itu bisa dijelaskan tanpa menunjukkan contohnya? Tentu saja tidak. Nah, tingkat warna `kuning' saja manusia tidak bisa menjelaskannya tanpa contoh. Apalagi Dzat Allah yang tidak tidak ada apapun yang bisa dimisalkan dengan-Nya.
Terakhir, melalui sepenggal narasi ini, marilah kita jadikan Isra' Mi'raj sebagai mediasi memperkuat iman kita. Khususnya iman kepada kitab Alquran yang dengan jelas menceritakan perjalanan mulia tersebut. Lebih dari itu, esensi dari Isra' dan Mi'raj sejatinya juga dapat dilakukan siapa saja.
Ketika Nabi bertemu dengan Allah Swt di Sidratal Muntaha, Nabi berdialog dengan Allah. Adapun dialog itu adalah tahyat akhir pada rakaat shalat. Ini menunjukkan bahwa, sekalipun umat Nabi tidak sampai ke langit, maka ia dianggap berdialog dan bertemu dengan Allah ketika khuyuk dalam sholatnya.
Nabi bersabda; "Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguh-Nya Dia melihatmu." (HR. Muslim).