Tingginya akan kemiskikan di Aceh, kata Safaruddin, dikarenakan alokasi anggaran Aceh terlalu besar, sedangkan penduduknya di Aceh kecil.
Sehingga dinilai, persentase untuk meningkatkan kemajuan, baik pendidikan maupun ekonomi, tidak mampu memberikan kebaikan dari anggaran Rp 16 triliun lebih yang dimiliki Aceh.
“Jadi fenomena kemiskinan ini apakah banyak orang miskin, itu tidak, tapi nilai angka. Hal ini diukur dari nilai angka Rp 16 triliun dari penduduk 5 juta itu tidak berbanding lurus. Jika kita lihat dari pernyataan-pernyataan politik pemerintah Indonesia terhadap Aceh, bahwa ada yang salah yaitu, tata kelola pemerintahan yang ada di Aceh,” jelanya.
Selain itu, anggota parlemen Aceh kelahiran Abdya ini menjelaskan, persoalan kemiskinan Aceh juga berdampak dari faktor pendidikan.
“Kalau kita lihat perguruan tinggi di Aceh itu lumayan, hampir semua kabupaten/kota di Aceh ada perguruan tingginya. Jika berbicara perguruan tinggi, tentu menciptakan sumber daya manusia. Jika kita lihat SDM, tentu akan berbanding lurus dengan kemajuan ekonominya. Nah itu tidak terjadi di Aceh, karena kita terus mencetak generasi sumber daya manusianya atau lulusan S1 dan S2 tapi tidak ada ruang untuk mendapatkan pekerjaan, sehingga terjadi pengangguran di mana-mana, sehingga menjadi beban daerah yang dimiliki Aceh saat ini,” ungkapnya.
Politisi Partai Gerinda Aceh ini juga menjelaskan, sumber denyut nadi Aceh hanya berkutat di APBA, begitu juga halnya kabupaten/kota yang bergantung di APBK.
“Kita tidak memiliki industri, semua hanya bergantung di anggaran daerah (APBA dan APBK),” ujarnya.
Untuk itu, Safaruddin menilai, untuk menjawab persoalan pengangguran, pemerintahan di Aceh menurutnya harus mengupayakan membangun industri-industri di Aceh agar para lulusan baru di Aceh mendapat peluang pekerjaan.
Dalam pemaparannya, Safaruddin juga menyampaikan berbagai permasalahan pendidikan di Aceh.
Baca juga: Jangan Lewatkan, Pasar Murah di 4 Kecamatan di Kota Langsa, Catat Jadwalnya
Seperti masih ada penduduk Aceh yang belum mampu dan mau untuk menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi, masih banyak perguruan tinggi yang belum terakreditasi, penguatan literasi Aceh belum merata, banyak perguruan tinggi belum menghasilkan lulusan kejuruan dengan kebutuhan peluang kerja, serta sejumlah persoalan lainnya.
Dalam hal memajukan pendidikan di Aceh, kata Safaruddin, sasaran alokasi anggaran 20 persen yang dianggarkan di APBN, APBA maupun di APBK saat ini hanya mengejar infrastruktur, bukan pengembangan kapasitas sumber daya manusia, seperti peningkatan kapasitas para tenaga pendidik.
“Semua hanya mengejar infrastruktur, karena ada komitmen fee di situ. Sangat jarang program-program yang dialokasikan untuk pendidikan digunakan untuk kemajuan dari sisi pendidikan itu sendiri. Alokasi untuk peningkatan kualitas pendidikan itu sangat minim. Sangat jarang kita lihat kebijakan pemerintah untuk pemberian bimtek kepada tenaga pendidik, padahal alokasi anggaran pendidikan itu besar sekali,” ungkapnya.
Di penghujung pertemuan, Safaruddin juga mengatakan, dirinya yang juga pernah menjalankan tridharma perguruan tinggi di Kampus Muhammadiyah Abdya tersebut, akan berupaya untuk mensupport berbagai kebutuhan pendidikan di Aceh.
“Saya akan mengupayakan dukungan anggaran apapun untuk kebutuhan pendidikan, jika kewenangan itu merupakan kewenangan provinsi. Ini saya lakukan untuk menjawab tantangan-tantangan ini, dengan harapan persoalan pendidikan dan ekonomi Aceh dapat adanya perubahan ke depan,” imbuhnya. (*)
Baca juga: Warga Banda Aceh, Ada Pasar Murah di Taman Sari Pada 5-8 April