Pirous nampak di situ mengakui kebesaran, sekaligus memohon kemurahan dan kasih sayang Nya yang juga tak terbatas.
Ada sebuah lukisan lain yang didomiansi warna hijau tentang ka’bah yang lenggang sepi dari thawaf akibat Covid-19.
Awalnya lukisan itu seolah menunjukkan kegundahan dan kegelisahan Pirous tentang sepinya “Rumah Allah”, akibat pandemi yang membuat umrah dan shalat berjamaah di Masjidil Haram menjadi tidak biasa.
Kata “protokol kesehatan” seolah telah menjadi pengunci yang membuat lingkaran zikir, takbir, dan taqwa hamba selama 24 jam selama ribuan tahun kini menjadi terkunci untuk waktu yang tidak ditentukan, terutama ketika pandemi mulai terjadi.
Pirous tidak bisa menerima protokol itu dalam abstraksi sufistiknya.
Ia melawan dan ia meyakini, zikir, takdir, dan taqwa di berbagai garis saf di sekeliling ka’bah tidak pernah berhenti.
Goresan titik-titik kecil yang memutar ka’bah seolah mewakili para malaikat, mewakili roh para ambiya yang telah meninggal, dan bahkan membawa jiwa mereka yang bersih dan zuhud dan masih hidup yang tinggal diberbagai belahan bumi untuk berthawaf memuji Allah SWT yang tak pernah berhenti.
Abstraksi sufistik itu adalah “pemberontakan” Pirous terhadap kecerdasan intelektual manusia yang kadang lupa dan lalai, dan selalu tetap saja lalai terhadap Kemahakuasaan sang Khalik.
Pirous telah membuat lukisan itu menjadi dakwah yang sangat indah.
Ada sebuah lukisan lain yang juga sangat menyentuh tentang kecintaan Allah kepada hambanya.
Kaligrafi Pirous yang meletakkan kutipan dari surat Afajr ayat 30 di dalam lukisannya yang sangat indah itu sungguh menyentak kita tentang hakekat nafs muthmainnah yang secara taratur mengalir dari ayat 27-30 surat Alfajr.
Merasakan getaran sufistik Pirous dari ayat itu saya yakin ia telah melahap pemahaman para mufassir klasik sekelas Ibnu Katsir (1301-1372) yang terkenal dengan tafsir Al-Azhim atau tafsir karya Imam Jalaludin Al-Mahali, Al-Jalalain yang kemudian disempurnakan oleh muridnya Jalaludin Suyuti pada tahun 1505.
Ia tidak pernah mau sombong mengobral apa yang ia baca, namun isi pembicaraannya ketika menjelaskan nuansa seni dari ayat-ayat Allah yang ia patrikan dalam lukisannya juga mengingatkan kita kepada Tafsir kontemporer, Al Azhar, yang ditulis oleh Buya Hamka.
Secara sengaja Pirous mengambil ayat 30 surat AlFajr memaksa kita untuk memahami sebuah aliran sebuah kata penting nafs dari ayat 27 pada surat yang sama.
Banyak kita tidak sadar, dalam Alquran ditemui penyebutan kata Nafs sebanyak 297 kali, dalam bentuk singular (mufrad) sebanyak 153 kali, dan dalam bentuk jamak nufus 2 kali, jamak anfus 153 kali, dan dalam bentuk kata kerja (fiil) sebanyak 2 kali.
Baca juga: Revitalisasi Sastra Nazam di Tanah Tauhid Sufi
Baca juga: Subulussalam dan Keagungan Sastrawan Sufi