Menurutnya, jika hutan tak dijaga dan tumbuhan-tubuhan herbal tidak dibudidayakan, maka akan banyak khazanah budaya Aceh yang teracam punah.
Nurhayati juga menambahkan bahwa peneliti Aceh yang meluangkan waktu dan tenaga untuk mengkaji kebudayaan dari sisi kuliner dan tumbuhan herbal masih sangat terbatas jumlahnya. Padahal, menurut ceritanya, justru peneliti luar Aceh yang lebih tertarik akan hal ini.
“Kami pernah membuat buku bersama Teh Nissa, pengelola Pesantren Ekologi Indonesia, Ath Thaariq, Garut, Jawa Barat. Dia tinggal di sini untuk meneliti beragam jenis daun di hutan-hutan Aceh. Teh Nissa bilang, ’Luar biasa, negeri Aceh yang sedemikian rupa, tapi mahasiswa Aceh tak membuat penelitian tentang ini.’ Begitu katanya,” kenang Nurhayati.
Bagi Nurhayati dan warga gampong Nusa, modernisasi tidak harus selalu disikapi dengan melupakan budaya dan adat istiadat yang telah ada. Jika hal itu memang baik maka seharusnya dipertahankan bahkan dikembangkan sesuai zamannya. Oleh karenanya, dibutuhkan inovasi dalam mem-branding kembali minuman dan makanan sehat khas yang dimiliki oleh Provinsi Aceh.
“Di Nusa, kita sudah mencoba menyajikan teh serai dengan jeruk nipis dan selasih kepada tamu yang hadir. Kita mem-branding minuman sehat agar tidak kalah dengan minuman modern. Supaya sajian alami bisa naik kelas,” kata Rubama. Sepakat dengan visi sang adik, Nurhayati menambahkan, ”Racikan bumbu ie bu peudah ini juga kita jual dengan harga terjangkau dan tetap kita sajikan sebagai makanan berbuka puasa di gampong ini agar sajian tersebut tidak hilang tergerus zaman.” Ya, begitulah.