Lahir pada 10 November 1973, sebagai anak pertama dari pasangan Muhammad Insya (Allahyarham) dan Umiyani, Jafaruddin menjadi harapan ekonomi keluarga di masa depan.
Apalagi dia kemudian menjadi anak pertama dari 7 bersaudara.
Mau tidak mau, Jafar harus ikut bekerja keras membantu orang tuanya menyekolahkan adik-adiknya.
Kehidupan keluarganya yang morat-marit membuat Jafar mau tidak mau dan siap tidak siap, harus menjadi tulang punggung keluarga.
Ia pun memulai petualangannya di rantau pada tahun 1988.
Saat itu Jafar berusia 15 tahun.
Ia baru saja lulus dari Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Reubee.
“Kala itu saya sudah mengambil formulir pendaftaran masuk ke MTsN Gampong Aree,” ungkap Jafar melalui pesan WhatsApp kepada Serambinews.com, Senin (26/4/2021).
Namun, kehidupan keluarganya yang morat marit, membuat Jafar harus menguburkan mimpinya untuk melanjutkan pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi.
Jafar harus menguburkan cita-citanya untuk menjadi seorang guru.
Dengan uang pas-pasan untuk ongkos, Jafaruddin memulai kisah perantauannya ke Lhokseumawe yang kala itu berjuluk Kota Petro Dolar.
Saat Jafar datang, Lhokseumawe sedang berada di puncak kejayaannya.
Bak gadis yang memikat banyak pemuda, Kota Lhokseumawe yang kala itu menjadi pusat industri perminyakan dunia, menarik banyak pemuda Aceh untuk mengubah nasib.
Dengan hanya bermodal lulusan MIN, Jafar harus menerima nasibnya menjadi pekerja kelas bawah.
Ia memulai kehidupan barunya sebagai pekerja pada toko kelontong dan bumbu giling milik Bang Jafar, warga asal Ceurih, Gampong Aree, yang berjualan di pusat pasar Lhokseumawe.