Empat tahun di sini, ia mencoba peruntungan barunya dengan menjadi pelayan pada warung nasi milik warga asal Meunasah Mesjid Reubee yang dia sebut bernama Abua Chat.
Empat tahun berselang, Jafar mencoba hidup mandiri.
Ia membeli becak mesin dan melayani penumang di sekitar kawasan Lhokseumawe.
Pekerjaan ini dia lakoni sambil menjadi pelayan Warung Kopi Delima milik Bang Ramli, yang sekaligus juga tempat dia beristirahat.
“Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang sangat berjasa dalam hidup hidup saya. Ada juga almarhum Abua Hamzah,” ujarnya mengenang masa-masa pahit tapi indah saat merantau di Lhokseumawe.
“Karena ingin mandiri, kemudian saya memutuskan membeli becak dan menjadi tukang becak. Pekerjaan itu saya lakoni selama sekitar dua tahun, hingga kemudian hijrah ke Malaysia untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik,” ujarnya.
Baca juga: Koperasi Aceh di Malaysia Buka Toko Grosir Pertama
Baca juga: Warga Aceh di Malaysia Gelar Majelis Hari Raya dan Rapat Pembentukan Koperasi Aceh Melayu Malaysia
Hijrah ke Malaysia
Hingga pada akhir tahun 1998, ketika cahaya gas Lhokseumawe mulai meredup, Jafar mengambil sikap untuk merantau ke Malaysia.
Kali ini ia benar-benar memulai hidup yang sangat baru, jauh dari orang tua dan sanak keluarga.
Keinginannya merantau ke Malaysia semata-mata termotivasi dengan cerita-cerita sukses beberapa orang sekampungnya yang mendapatkan kehidupan lebih baik di negeri jiran itu.
Bermodal uang sebesar Rp 700 ribu, hasil tabungannya selama bekerja di Lhokseumawe, Jafaruddin naik bus ke Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Ia berangkat bersama dua rekannya.
Mereka menginap tiga hari tiga malam di Tanjung Balai, menunggu boat yang akan membawa mereka ke Port Klang, Malaysia.
Tapi saat boat datang, rekan Jafar Insya mengurungkan niatnya setelah melihat boat yang akan membawa mereka ke negeri jiran berukuran kecil.
“Perjalanan sungguh berat, berangkat tengah malam, subuh baru sampai di Port Klang. Saya bawa uang Rp 700 ribu, ongkos boat Rp 300 ribu, sisanya Rp 400 ribu untuk jajan di Malaysia,” ungkap Jafar.
Sesuai arahan yang diperolehnya saat di Aceh, dari Port Klang, Jafar langsung naik bus menuju ke Taman Datuk Harun.
Di sini, dia bertemu dengan beberapa orang Aceh yang tidak pernah dia kenal sebelumnya.
“Baru dua bulan kemudian saya bertemu Tgk H Rasyid atau Abua Rasyid, keluarga asal Meunasah Geudong Reubee. Dari sinilah kehidupan baru saya bermula,” ujarnya.
Oleh Abua Rasyid, Jafar diarahkan bekerja di pasar borong, dan selanjutnya bekerja di kedai runcit milik H Ruslaidi dan Tgk Mansur Yahya.
“Semuanya atas bantuan Abua rasyid Meunasah Geudong,” ujarnya.
Pada tahun 2003, tepatnya hari Ahad 21 April 2003, Jafar menikah dengan Maiza Mansur, gadis pujaan hatinya asal Kabupaten Bireuen.
Pelan namun pasti, kehidupan Jafar mulai berubah ke arah yang jauh lebih baik.
Pernikahannya dengan Maiza Mansur, membuahkan dua permata hati yaitu Rhania dan Zaheeri.
Jafaruddin yang dulu tukang becak di Lhokseumawe, kini telah menjadi toke dari tiga kedai runcit (kelontong) di Malaysia.
Satu dari 3 kedai runcitnya masuk kategori swalayan, sementara 2 lainnya masih kategori kecil.
Jafaruddin yang kini populer dengan nama Jafar Insya Reubee, belakangan juga menjadi tenaga marketing pada Eko Indrajaya Trading Sdn Bhd, perusahaan jual beli mobil bekas milik H Man, pengusaha asal Paya Meuneng, Kabupaten Bireuen.
Sejak akhir 2019, Jafar Insya Reubee sering muncul dalam siaran langsung di Facebook Serambinews.com dan video-video yang dirilis Serambi On TV dari Malaysia.
Ia sering melaporkan setiap kegiatan komunitas warga Aceh di negeri jiran itu.
Jafar Insya Reubee telah membuktikan kebenaran kalimat “pengalaman adalah guru terbaik”.
Jafar juga menjadi salah satu sosok yang berhasil membuktikan bahwa “doa ibu dan ayah, dibarengi kerja keras, keuletan, dan ketabahan, akan mengantarkan seseorang kepada kesuksesan yang tak pernah terbayangkan.”(Zainal Arifin M Nur)