Namun sekarang, tesnya ditambah dengan instrumen Hardy Rand Rittler.
Kemudian untuk tes tulang belakang, kata dia, aturannya pun diubah khususnya pada batas toleransi kemiringan tulang belakang yang sebelumnya 5° menjadi 20°
Demikian juga, kata dia, pada pemeriksaan jantung yang kini ditambahkan proses pemeriksaan untuk meningkatkan ketelitian.
Selain alasan perbaikan dan penyempurnaan, Andika juga menjelaskan alasan lain dari perubahan tersebut di antaranya yang menyangkut keselamatan jiwa personel.
Pertama, kata dia, untuk menghindari insiden yang berpotensi menghilangkan nyawa khususnya pada tes buta warna dan jantung.
Kedua, adalah untuk menghindari penularan penyakit antaranggota.
Ketiga, kata dia, untuk menghindari infeksi serius yang menyebabkan kegagalan organ personel pada saat latihan.
"Itu semualah penyempurnaannya, sehingga yang tidak ada lagi hubungannya, seperti yang tadi saya sebut sudah tidak perlu lagi," kata Andika.
Politikus PKB Dukung Penghentian Tes Keperawanan dalam Rekrutmen Calon Prajurit Perempuan
Pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa yang telah menginstruksikan seluruh jajarannya untuk tidak menggunakan Tes keperawanan sebagai satu mekanisme rekrutmen calon anggota prajurit KOWAD patut didukung semua pihak.
Dukungan itu disampaikan anggota DPR RI Fraksi PKB yang juga Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (Sekjen KPP-RI), Luluk Nur Hamidah, melalui keterangannya kepada wartawan, Selasa (10/8/2021).
"Tes keperawanan bukan hanya tidak relevan untuk menilai kelayakan calon prajurit perempuan TNI, namun dalam praktiknya juga mendiskriminasi dan sangat rentan dengan pelanggaran HAM serta ketinggalan zaman," kata Luluk.
Selain itu, menurutnya tes keperawanan justru mengesampingkan eksistensi perempuan sebagai manusia yang memiliki kecakapan, kecerdasan, akal budi, kepemimpinan dan bahkan komitmen membela Bangsa dan Negara.
Dia mengatakan tes keperawanan atau sejenisnya sudah semestinya dihentikan dan tidak dikaitkan dengan uji kesehatan baik fisik ataupun kesehatan jiwa.
"Tes apapun sepatutnya mengedepankan meritokrasi, kesetaraan gender, dan meninggalkan praktik- praktik yang mendiskriminasi ataupun berpotensi melanggar harkat dan martabat kemanusiaan," ucapnya.