JAKARTA - Jadwal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh dipastikan akan mengikuti skema pilkada serentak secara nasional tahun 2024. Jadwal tersebut tidak akan bergeser lagi.
Hal itu terungkap dalam webinar ‘Sukses Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024 di Tengah Pandemi Covid-19i yang dilaksanakan secara virtual oleh Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Selasa (21/9/2021).
Webinar itu menghadirkan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Hakim, Komisioner KPU RI, Dewa Raka Sandi, Rahmat Bagja dari Bawaslu RI, Daan Mustapa dari Komisi II DPR, Prof Siti Zuhro pengamat politik, serta August Melasz, Direktur Sindikat Pemilu dan Demokrasi.
"Sudah pembicaraan dengan Komisi II, DPRA dan Kemendagri, bahwa Pilkada Aceh mengikut skema nasional 2024. Itu sudah sesuai dengan Undang-Undang No 10 Tahun 2016. Tidak masalah," kata Lukman Hakim menjawab pertanyaan Serambi.
Penegasan serupa disampaikan Dewa Raka Sandi dan Rahmat Bagja. Mereka mengatakan, soal Pilkada Aceh ini sudah dibahas dalam berbagai kesempatan dengan pihak-pihak terkait. "Bahwa Pilkada Aceh diselenggarakan 2024," pungkas Dewa Raka.
Sebelumnya, Anggota KPU RI, Hasyim Asyari juga menegaskan bahwa pilkada di daerah khusus/istimewa tetap digelar pada 2024, meski daerah khusus itu memiliki UU tersendiri. Bagi gubernur yang sudah habis masa jabatannya, posisinya akan diisi penjabat gubernur hingga 2024. Daerah itu adalah Aceh, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Papua.
"Dalam konteks per-UU-an dikenal asas lex specialis derogat legi generalis. Dalam konteks otonomi daerah, UU Pemda adalah lex generalis dan UU Daerah Istimewa/Khusus adalah lex specialis," kata Hasyim kepada wartawan, Jumat (17/9/2021).
Menurut Hasyim, pada prinsipnya dikenal dua konsep otonomi daerah simetri dan asimetris. Indonesia menganut otonomi simetris sebagaimana diatur dalam UU 23/2014 tentang Pemda. Meski demikian, Indonesia juga menganut otonomi asimetris untuk daerah istimewa dan daerah khusus sebagaimana amanat UUD 1945 yang diatur dalam UU DKI Jakarta, UU Daerah Istimewa Yogyakarta, UU Pemerintahan Aceh, dan UU Otonomi Khusus Papua.
"Dalam konteks Pilkada, UU Pilkada adalah lex generalis untuk mengatur pilkada di semua daerah (provinsi dan kab/kota) di Indonesia. Demikian pula UU tentang daerah istimewa/khusus adalah lex specialis untuk pilkada di daerah istimewa/khusus," tutur Hasyim.
Dia menuturkan, sistem pemilu/pilkada memiliki 4 aspek strategis, yaitu: 1) daerah pemilihan dan alokasi kursi, 2) mekanisme pencalonan, 3) metode pemberian suara, dan 4) formula pemilihan. "Berdasarkan 4 aspek strategis pilkada tersebut berlaku untuk semua daerah dalam pilkada sebagaimana diatur dalam UU Pilkada," terangnya.
Meski demikian, terdapat perlakuan khusus untuk daerah istimewa/khusus. Terkait mekanisme pencalonan, untuk Papua terdapat pengaturan khusus tentang syarat calon gubernur dan wakil gubernur yaitu harus orang Papua asli atau dinyatakan sebagai orang Papua asli oleh Majelis Rakyat Papua (MRP). Ketentuan ini hanya berlaku untuk calon gubernur dan wakil gubernur saja, dan tidak berlaku untuk calon bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota.
Untuk DIY pengaturan khusus berkaitan 2 hal, yaitu syarat calon gubernur DIY harus Sultan HB dan calon wagub harus Pakualam. Mekanisme pencalonan melalui penetapan oleh DPRD DIY dan diusulkan ke Presiden untuk ditetapkan dan dilantik.
Sedangkan untuk Aceh, pengaturan kekhususan berkaitan dengan syarat calon gubernur/bupati/wali kota dan wakilnya harus fasih membaca Alquran dan melalui tes baca Alquran. Hanya saja, pengaturannya hanya pada level qanun (perda), bukan pada level UU. Parpol lokal Aceh juga dapat mengajukan pendaftaran calon. Ketentuan tentang syarat pencalonan oleh parpol lokal Aceh mengikuti ketentuan UU Pilkada.
Perlakuan khusus lainnya terkait metode pemberian suara. Untuk Papua, disebutkan Hasyim, pilkada gubernur/bupati/wali kota dan wakilnya digunakan metode noken untuk daerah-daerah tertentu. Pengaturan tentang noken pada level Peraturan KPU dan penentuan daerah yang memakai noken menggunakan SK KPU Provinsi Papua, bukan pada level UU.
Perlakuan khusus berikutnya adalah formula pemilihan. Untuk Pilkada DKI Jakarta kekhususannya adalah pemenang pilkada harus memperoleh suara sah lebih dari 50% (>50%). Bila tidak terdapat calon yang memperoleh suara lebih dari 50% suara sah (suara terbanyak mayoritas), digelar pilkada putaran kedua yang diikuti oleh calon yang memperoleh suara terbanyak peringkat pertama dan kedua. Formula pemilihan untuk pilkada putaran kedua adalah pemenang harus memperoleh lebih dari 50% suara sah.