Laporan Fikar W.Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Rumah yang ditempati Tjoet Njak Dhien selama di Sumedang Jawa Barat masih tetap dipertahankan sebagai tempat belajar mengaji Alquran untuk anak-anak.
Seperti juga dulu, ketika Tjoet Njak Dhien mengajar anak-anak mengaji di sana.
Rumah tersebut dijadikan cagar budaya yang dilindungi oleh Badan Pelestarian Cagar Budaya wilayah DKI Jakarta, Lampung, Jawa Barat, dan Banten.
Bangunan rumah masih seperti sedia kala.
“Masih tetap dipertahankan sebagai tempat mengaji untuk anak-anak. Dulu ketika Tjoet Njak Dhien di rumah itu, juga mengajar mengaji,” kata Indra Iskandar, Sekjen DPR RI kepada Serambinews.com, Senin (1/11/2021) malam.
Indra Iskandar baru saja kembali mengunjungi rumah dan makam Tjoet Njak Dhien di Sumedang.
Baca juga: Moustapha Akad, Ertugrul, dan Cut Nyak Dhien: Tentang Wajah Asli Yang Sering Terabaikan (II)
Tjoet Njak Dhien pada 11 November 2021 ini genap berusia 113 tahun kematiannya. Ia dibuang ke Batavia dan kemudian dipindahkan ke Sumedang pada 1906 dalam usia 58 tahun.
Ia menempati sebuah rumah kayu milik salah seorang tokoh Sumedang, KH Ilyas.
Tjoet Njak Dhien meninggal dunia 6 November 1908, dua tahun setelah menjalani pengasingan. Jenazahnya dimakamkan di Sumedang.
Pemerintah Kabupaten Sumedang, kata Indra Iskandar, memanfaatkan spirit perjuangan Tjoet Njak Dhien sebagai inspirasi bagi birokrasi di Sumedang.
Baca juga: Harga Emas Hari Ini Naik, Berikut Rincian Lengkap Harga Emas Per Gram, Selasa (2/11/2021)
“Ini disampaikan sendiri Sekda Sumedang. Bahwa birokrat-birokrat Sumedang diminta untuk berziarah ke makam Tjoet Njak Dhien dan meresapi nilai-nilai kejuangan Sang Pahlawan.
Bahwa kita sekarang belum apa-apanya dibanding Tjoet Njak Dhien yang bersedia mengorbankan nyawa untuk mempertahankan diri dari penjajahan,” kata Iskandar menirukan keterangan Sekda Sumedang.
Rumah pengasingan Tjoet Njak Dhien berada di Kampung Kaum, Kelurahan Regol Wetan, tidak terlalu jauh dari Masjid Agung Sumedang.
Penjaga rumah merawat sangat baik tempat tersebut. Pada bagian depan tertera papan nama dengan tulisan "Bekas Rumah Tinggal Cut Nyak Dien Sumedang".
Selama di Sumedang, Tjoet Njak Dhien mengajar ngaji kepada anak-anak setempat. Orang-orang setempat memanggil Tjoet Njak Dhien dengan Ibu Prabu.
Baca juga: KRI Teuku Umar-385 ikut Operasi Amfibi di Laut Natuna Selatan
Menurut Indra Iskandar, Tjoet Njak Dhien ketika itu hanya menguasai bahasa Arab dan bahasa Aceh, untuk berkomunikasi harus melalui penerjemah.
Masyarakat Sumedang, baik kalangan birokrasi maupun kalangan kerajaan Sumedang merasa sangat dekat dengan Aceh.
Rencong peninggalan Tjoet Njak Dhien dijaga dan dirawat dengan baik oleh pihak keraton Sumedang.
Ini disampaikan sendiri oleh Paduka Yang Mulia Sri Raja Sunda di Keraton Sumedang.
“Dari foto-foto yang diperlihatkan kepada kita, adalah belasan rencong dalam berbagai ukuran dan bentuk milik Tjoet Njak Dhien yang mereka simpan dan jaga dengan baik,” ujar Indra Iskandar.
Baca juga: 3 Eksekutor Anggota TNI di Pidie Dibidik Pasal Berlapis, Senjata Digunakan Peninggalan Konflik Aceh
Tjoet Njak Dhien pahlawan nasional asal Aceh merupakan anak dari Teuku Nanta Setia, lahir di Aceh Barat pada tahun 1848.
Ia diasingkan oleh Belanda pada 1906, karena tak mau tunduk kepada Belanda.
Pang Laot, panglima perang dalam pasukan gerilyawan pimpinan Tjoet Njak Dhien, menyerahkan Tjoet Njak Dhien pada Belanda karena merasa tak tega atas sakit dan keletihan yang diderita perempuan perkasa itu.
Pang Laot meminta pada Belanda agar memberikan perawatan yang baik bagi wanita mulia itu.
Tapi Belanda mengkhianati permintaan Pang Laot dan sebaliknya membuah Tjoet Njak Dhien ke luar dari Aceh.(*)
Baca juga: Harga Emas Per Mayam Hari ini, Permintaan Emas Meningkat di Pidie