3 Kasus Rudapaksa Anak Berkelompok Terjadi di Aceh

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Firdaus D Nyak Idin

BANDA ACEH - Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh (KPPAA) mencatat tiga kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan berkelompok (gangrape) terjadi di Aceh selama tahun 2021.

Pertama di Bener Meriah pada Februari 2021, kemudian Langsa sekitar Maret 2021 dan terakhir di Nagan Raya Desember 2021.

Tidak menutup kemungkinan ada kejahatan serupa terjadi, namun kurang mencuat. Komisioner KPPAA, Firdaus D Nyak Idin, menyampaikan hal ini dalam siaran pers kepada Serambi kemarin.

Menurut Firdaus, dalam pandangan psikologi sosial, pelaku gang rape memiliki suatu mentalitas yang disebut “mentalitas mafia” di mana suatu kelompok melakukan suatu perilaku kejahatan bersama-sama tanpa berpikir jernih.

Gang rape terjadi sangat sering dikarenakan pelaku cenderung melakukan suatu kejahatan, jika dirinya merasa bisa lolos dari hukuman.

Dalam kasus Aceh, disinyalir, dualisme hukum (Qanun Jinayat versus undang- undang Perlindungan Anak) turut mempengaruhinya. “Pelaku gang rape juga cenderung menganggap korban (perempuan) sebagai warga kelas dua. Jelas ada ketidaksetaraan gender di sini,” katanya.

Dengan terjadinya persoalan tersebut, KPPAA kembali mengingatkan, agar kasus tidak semakin bertambah, Pemerintah Aceh perlu mengambil langkah-langkah strategis dan cepat, antara lain yakni merevisi dan memperkuat qanun jinayat, karena terbukti keberadaan qanun jinayat telah menyebabkan adanya dualisme hukum penanganan kejahatan seksual terhadap anak.

Segera menyusun rencana strategis penghapusan kekerasan seksual terhadap anak. Pasalnya, hingga kini Aceh sama sekali belum memiliki rencana strategis apapun terkait perlindungan anak.

Termasuk tidak memiliki rencana strategis dalam menghapus kekerasan seksual terhadap anak. Merevisi dan memperkuat qanun perlindungan anak, sehingga qanun perlindungan anak Aceh dapat lebih up to date dan sesuai perkembangan Aceh saat ini.

Memperkuat kelembagaan pengawasan perlindungan anak Aceh agar semakin kuat dan efektif melakukan pengawasan semua sektor terkait anak di Aceh.

Memperkuat fungsi keluarga dan komunitas.

Karena sering sekali kejahatan seksual terjadi di rumah/keluarga dan di komunitas lingkungan terdekat korban.

Dalam konsep Hak Azasi Manusia (HAM) Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Aceh memiliki tugas Immidiate obligation (kewajiban yang bersifat segara dan secepatnya tanpa memandang ketersediaan sumber daya) dalam menghapus segara bentuk kejahatan seksual di Aceh.

“Apabila ini tidak dilakukan, dapat dianggap Pemerintah telah melakukan pelanggaran Hak Azasi Manusia,” katanya.

Untuk itu, KPPAA berharap melalui sektor terkait segera duduk menyusun perencanaan yang strategis yang bertujuan bukan sekedar menurunkan angka, namun menghapus segala bentuk kejahatan seksual terhadap anak di Aceh.

Zero tolerant untuk kejahatan seksual terhadap anak. “Jangan sampai korban bertambah banyak, pelaku bertambah sadis, pemerintah bertambah cuek,,” ucapnya.(as)

Baca juga: 2 Pelaku Rudapaksa Ternyata Residivis

Baca juga: Dua Pelaku Rudapaksa Anak Ternyata Residivis Kasus Perkosaan, Polisi Nagan Raya Buru 5 Pelaku Lain

Baca juga: Nazaruddin Dek Gam Minta Para Pelaku Rudapaksa Anak Dibawah Umur di Nagan Raya Dihukum Setimpal

Berita Terkini