Sedangkan Qanun Hukum Jinayat memberi peluang kepada pelaku untuk tidak dipenjara, yaitu cukup dicambuk saja. Setelah itu dia bisa kembali bebas dan bahkan berpotensi mengulang lagi perbuatannya.
Kedua, sistem pembuktian dibebankan kepada anak yang menjadi korban. Anak yang jadi korban harus menunjukkan saksi yang melihat dia diperkosa atau dilecehkan, kalau tidak bisa maka terdakwa kasus ini banyak yang dibebaskan.
Baca juga: Seulanga FC Polres Pidie Kalahkan Polres Pidie Jaya FC
"Padahal, kita tahu bahwa tidak mungkin pemerkosaan atau pelecehan dilakukan jika di tempat umum dan tempat ramai. Pastilah pelaku membawa korban ke tempat sunyi dan sepi.
Meskipun ada hasil visum dan keterangan psikolog, aparat penegak hukum, kerap mengabaikannya," kata Darwati.
Ketiga, perlindungan terhadap anak yang menjadi korban tidak ada dalam Qanun Hukum Jinayat. Qanun ini hanya berbicara bagaimana menghukum pelaku, tidak mengatur bagaimana melindungi dan pemulihan korban.
Berbeda dengan UU Perlindungan Anak, anak yang menjadi korban berkewajiban/dijamin pemulihan, baik fisik, psikis, bahkan lingkungan dan sosialnya.
Keempat , lanjut Darwati, Qanun Hukum Jinayat tidak menjamin hak pemulihan (restitusi) terhadap anak sebagai korban pelecehan seksual, atau pemerkosaan.
Beda dengan UU Perlindungan Anak, pelaku diwajibkan membayar restitusi terhadap korban.
Kelima, sebut Darwati, Qanun Hukum Jinayat tidak melihat atau memosisikan anak sebagai korban. Jika ada orang dewasa yang pacaran dengan anak di bawah umur, kemudian berhubungan badan, maka anak juga akan diproses hukum dan diancam untuk dicambuk.
Berbeda dengan UU Perlindungan Anak, apa pun bentuknya, bagaimanapun caranya, tidak dibenarkan berhubungan dangan anak, jika terikat dengan hubungan pacaran pun dianggap sebagai tipu muslihat, dan yang akan dihukum hanya pelaku/orang dewasa saja.
Beranjak dari hal tersebut, kata Darwati, tentunya perubahan Qanun Hukum Jinayat sesuatu yang harus dilakukan untuk meredam perilaku predator seks di Aceh yang sudah di luar akal sehat manusia. Bahkan dilakukan secara berkelompok seperti terjadi baru-baru ini di Nagan Raya dan Aceh Utara.
Darwati menekankan bahwa pertimbangan utama perubahan (revisi) qanun ini adalah untuk penguatan qanun dan memberikan efek jera bagi pelaku.
"Kita berhadap agar pembahasan Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat nantinya berjalan lancar dan dititikberatkan pada Pasal 47 dan 50," ujar mantan First Lady Aceh ini.
"Besar harapan agar rancangan qanun ini dapat segera kita sahkan pada pertengahan tahun 2022 dan semoga mendapat dukungan dari semua pihak," demikian Darwati mewakili para inisiator revisi Qanun Hukum Jinayat. (*)