Sebab, ada beberapa investor yang ingin berinvestasi pada proyek IKN namun terkendala masalah kepastian hukum. Sehingga, RUU IKN yang kini sudah menjadi UU merupakan jawaban atas kepastian hukum tersebut.
"Saya kira kami enggak pernah. Jangankan berkomunikasi, mengenal dengan siapapun di luar pemerintah di dalam urusan penyusunan UU ini, ya," kata Doli.
Doli menegaskan, Pansus yang berjumlah 30 orang dibentuk untuk berkomunikasi dengan pimpinan DPR dengan masing-masing fraksi.
Selanjutnya berkomunikasi juga dengan mitra kerja dalam hal pemerintah atau kementerian terkait yang sudah ditunjuk dalam Surat Presiden (Surpres).
"Itu leading sectornya adalah Pak Menteri PUPR. Enggak ada (titipan investor)," tegas Doli.
Doli menjelaskan Pansus RUU IKN hanya menjalankan tugas-tugasnya mempersiapkan dan merampungkan UU IKN. Bahkan, menurutnya pembahasan RUU IKN menyita waktu yang cukup melelahkan sebab rapat digelar hingga malam berganti hari.
"Jangankan ngurusin itu (investor), ngurusin tidur saja enggak cukup. Jadi oleh karena itu, saya katakan kita bekerja konsentrasi tinggi," pungkasnya.
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amalia menilai pemerintah ngotot ngebut memindahkan ibukota dengan anggaran hampir Rp 500 triliun. Namun, lebih dari itu, Ledia mengatakan ada ribuan guru honorer yang sudah mengabdi belasan hingga puluhan tahun, tetapi belum mendapatkan kepastian nasib kesejahteraannya.
"Miris sekali, ribuan guru honorer masih terkatung-katung nasibnya. Tahun berganti tahun, namun kesejahteraan dan kepastian status ketenagakerjaan mereka masih terabaikan. Sementara Pemerintah malah sibuk mengedepankan nafsu memindahkan ibukota sesegera mungkin. Sangat memprihatinkan," kata dia.
Persoalan guru honorer, dikatakan Ledia, bak sebuah drama berseri yang tak kunjung usai. "Bertahun-tahun persoalan guru honorer baik di sekolah negeri maupun swasta terus mendulang isu pedih dan kritik," kata Ledia.
Dia menilai secara kesejahteraan nasib para guru honorer amat memprihatinkan karena hanya mendapat kisaran gaji puluhan hingga ratusan ribu rupiah per bulan.
"Karena itu, para guru honor ini sangat mendambakan untuk diangkat menjadi PNS demi kejelasan status dan peningkatan kesejahteraan, tetapi Pemerintah kemudian menghentikan pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk formasi guru mulai 2021. Sebagai gantinya Pemerintah meminta para guru honorer untuk mengikuti seleksi calon guru berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)," katanya.
Namun dalam perjalanannya, proses seleksi ini ternyata memunculkan kegaduhan.
Kegaduhan itu, dikatakan Ledia, mulai dari janji pembukaan seleksi satu juta guru pada 2021 yang direvisi menjadi bertahap, persyaratan yang mengukur rata semua kriteria di masa awal pembukaan seleksi, proses pelaksanaan yang memunculkan kesulitan bagi para peserta seleksi, kriteria penilaian yang dianggap tidak adil, hingga ancaman ketidakadilan bagi sekolah swasta dan guru honorer tak lolos seleksi usai pengumuman kelulusan seleksi PPPK.
"Pemerintah tampak tidak matang dalam mempersiapkan proses seleksi PPPK ini. Beberapa bagian proses seleksi dianggap menyulitkan dan tidak adil," katanya.
"Kemudian, adanya kebijakan yang berubah, direvisi, bahkan buruknya komunikasi dengan Pemda yang membuat banyak Pemda tidak mengajukan formasi guru juga menjadi satu paket masalah yang harus sesegera mungkin dievaluasi Pemerintah sebelum memutuskan seleksi tahap berikut di 2022 ini," pungkasnya.(Tribun Network/den/mam/wly)