Oleh Prof. Dr. APRIDAR, S.E., M.Si., Guru Besar Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Syiah Kuala dan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Orwil Aceh, melaporkan dari Kampus ISBI Aceh, Jantho, Aceh Besar
PERADABAN Aceh setelah adanya penggabungan Kerajaan Lamuri dan Kerajaan Aceh melalui ikatan pernikahan antara Raja Lamuri dengan Putri Raja Aceh, mengalami puncak kesuksesan di masa Sultan Iskandar Muda (1607- 1636).
Kerajaan ini mampu memperluas kekuasaan mulai dari Sumatra hingga ke semenanjung Malaya, yaitu Johor, Perak, Kedah, bahkan Patani.
Kebudayaan Islam mampu diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga mendapat julukan “Seuramoe Mekkah” atau Serambi Mekkah.
Potensi sumber daya alam yang melimpah, menjadikan banyak bangsa seperti Inggris, Portugis hingga Belanda sangat berkeinginan untuk bekerja sama.
Namun, sultan selalu menolak dengan tegas terhadap siasat asing tersebut untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki Aceh.
Karena tidak berhasil, mereka beralih ke Pulau Jawa dan Maluku.
Namun, pada 26 Maret 1873 Belanda memerangi Kesultanan Aceh.
Perang Sabi yang berlangsung 30 tahun itu membuat Kesultanan Aceh berakhir di bawah pimpinan Sultan Daud Syah yang harus mengakui kedaulatan Belanda di Aceh sehingga wilayah Aceh secara administratif masuk ke Hindia Timur Belanda yaitu “Nederlandsch Oost Indie”yang kemudian menjadi Hindia Belanda.
Meski sultan takluk dan dibuang ke Batavia, tapi berbagai peninggalan dari Kerajaan Aceh masih bertahan hingga kini.
Baca juga: Orasi Ilmiah Milad Ke-7 ISBI Aceh, Plt Dirjen Diktiristek, Prof Nizam Minta ISBI Tingkatkan Kiprah
Baca juga: Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh Beri Penghargaan Tujuh Kurator Danau Toba
Di antaranya Masjid Baiturrahman, Taman Sari Gunongan, Benteng Indrapatra, meriam Kesultanan Aceh, uang emas Kerajaan Aceh, karya sastra hikayat Aceh, bahkan Makam Sultan Iskandar Muda.
Namun, masih banyak yang lainnya dibawa ke negara penjajah serta ada juga yang dimusnahkan untuk menghilangkan jejak peradaban Islam di Aceh.
Peninggalan sejarah sebagai buktu kejayaan yang pernah ditorehkan oleh pendahulu kita di Aceh, sangat penting untuk dijaga serta dilestarikan agar anak cucu paham serta dapat dijadikan sebagai tongkat estafet untuk meneruskan perjuangan mulia tersebut.
Penyelamatan situs serta budaya peradaban tersebut hendaknya dikawal oleh lembaga pendidikan yang paham terhadap sejarah budaya bangsa.
Tidaklah berlebihan bila pemerintah memandang perlunya pendidikan seni budaya, maka kepada Institut Seni Indonesia (ISI) ditugaskan untuk mendirikan empat Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) baru.