Opini

Ihtikar dalam Perspektif Islam

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ABDUL GANI ISA Anggota MPU Aceh/Staf Pengajar Pascasarjana UIN Ar-Raniry

OLEH ABDUL GANI ISA, Anggota MPU Aceh/Staf Pengajar Pascasarjana UIN Ar-Raniry

DALAM sistem perekonomian Islam, tidak membenarkan teori ekonomi kapitalis dan sosialis yang melegalkan praktik monopoli, spekulasi dan penimbunan barang (ihtikar), sebab praktik yang demikian membawa kemudaratan yang fatal terhadap perekonomian masyarakat.

Sehingga timbul kepincangan ekonomi antara pengusaha yang punya modal dengan rakyat lemah sebagai konsumen.

Kemudaratan itu semakin parah lagi, bila pengusaha atau para pedagang menimbun barang dagangan, dan menjualnya di waktu krisis ekonomi, dengan maksud memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, tanpa memerhatikan kesulitan para konsumen.(John L.Esposito, Dinamika ,..h.346-347 ).

Penimbunan barang (ihtikar) pada dasarnya adalah mencari keuntungan yang lebih di luar batas harga pasar, norma Islam dalam menetapkan harga, tidak melampaui harga pasar dan tidak merugikan konsumen serta dirinya sendiri, baik diukur dengan nilai harga yang berkembang dalam pasar maupun tarif yang ditetapkan pihak produsen.

Dengan kata lain ihtikar itu menumpuk- numpuk barang ataupun jasa yang diperlukan masyarakat dan kemudian si pelaku mengeluarkannya dalam batas minimal dengan harga jual yang lebih mahal dari harga biasanya dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan lebih cepat dan dalam jumlah banyak.

Ada beberapa faktor sebuah transaksi yang dilarang, yaitu transaksi yang diharamkan, baik haram materinya maupun non materi, dan transaksi yang tidak sah atau tidak lengkap akadnya, seperti dijelaskan berikut:

a) Haram materinya, yaitu transaksi yang dilarang karena objeknya (barang dan/ jasa) bertentangan dari sudut pandang Islam, misalnya khamar dan bangkai.

b) Haram non materi, yaitu transaksi yang melanggar prinsip “an taradhin minkum”, artinya adalah prinsip-prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha) yang didasarkan pada informasi yang sama (complete information), atau dengan kata lain tidak didasarkan pada informasi yang tidak sama (assymetric information), Dalam bahasa fikih disebut tadlis, yang bisa terjadi dalam empat hal, yaitu: kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan.

Di samping itu suatu transaksi dilarang apabila melanggar prinsip la tazlimuna wala tuzlamun, yaitu prinsip tentang jangan menzalimi dan jangan dizalimi.

Praktik kegiatan ekonomi seperti ini akan terjadinya rekayasa pasar (dalam supply maupun demand), rekayasa pasar dalam demand misalnya berupa ba’i najasyi, riba, termasuk ihtikar.

Baca juga: Kapolres Imbau Distributor tak Timbun Migor Curah, Jika Kedapatan Akan Ditindak 

Baca juga: Minimarket Ini Kedapatan Timbun Minyak Goreng Rp 14 Ribu per Liter, DPRD Panggil Pihak Manajemen

Sistem ekonomi Islam sangat mengutamakan persamaan kesempatan dan pemerataan distribusi pendapatan.

Untuk mencapai persamaan ini, Islam melarang adanya penimbunan (QS, 3:180 ; 9:34), pemborongan (QS, 17:26), perdagangan tidak sah yang menjurus pada perbedaan dan penghasilan, seperti spekulasi serta praktik-praktik ketidakjujuran dan penipuan (QS, 11:85-86).

Islam menghendaki semua bentuk perdagangan dilakukan dengan usaha yang sah dan jujur.

Perdagangan dilandasi dengan kemauan serta itikad baik (QS, 4:29), sehingga tercipta sistem perekonomian yang sehat dalam masyarakat.( Mahmud Syaltut, Islam, 1968), h.287).

Halaman
123

Berita Terkini