“Begitu juga untuk lahan pemakaman, masih terjadi pro kontra bagi masyarakat Jepang,” ujarnya.
Hal ini, kata Prof Natsuko, disebabkan prosesi pemakaman muslim dikhawatirkan akan mempengaruhi kualitas air minum bersih di Jepang.
“Komunitas muslim di Jepang, biasanya juga melakukan gotong royong membersihkan jalan dan ilalang sebagai langkah upaya muslim Jepang dapat melebur dan diterima di Jepang” lanjutnya.
Sementara itu, pada kuliah umum matakuliah “Gender dan Isu-Isu Globalisasi” yang digelar pada Kamis (2/6/2022) yang juga secara hybrid di ruang Multimedia Perpustakaan UMUSLIM, mengangkat tema “Telaah isu Isu Gender Dalam Konflik Bersenjata”.
Dalam kuliah umum tersebut, Prof Saeki Natsuko menyampaikan, ada tiga tipologi kekerasan seksual yang terjadi selama konflik bersenjata.
Pertama, kata dia, tindakan asusila secara kenikmatan yang diartikan sebagai harfiah seorang laki-laki yang mendominasi sebagai tentara memiliki nafsu seksual.
“Tidak tersedianya tempat pelampiasan khusus bagi tentara sehingga mengarah kepada korban sipil perempuan di wilayah konflik,” terangnya.
Baca juga: Kuliah Umum di FKM UI, Airlangga Ingatkan Pentingnya Insan Kesehatan Akrab Dengan Teknologi Digital
Kemudian yang kedua, Prof Natsuko mengatakan tindakan asusilal untuk jaminan keamanan negara, maksudnya kekerasan seksual yang terjadi karena ketidakstabilan negara sehingga masyarakat frustasi.
“Dalam hal ini, tidak hanya tentara yang melakukan tindak kekerasan seksual namun juga masyarakat sipil sebagai pelaku. Seperti kerusuhan tahun 1998, kerusuhan pasca 1966,” ujarnya.
Ketiga, tindakan asusila secara sistematis. Ia mengatakan, hal ini merupakan salah satu taktik atau strategi dalam operasi militer untuk memenangkan peperangan.
Dalam kuliah umum ini, Prof Saeki Natsuko didampingi oleh dua narasumber lainnya, yakni korban konflik bersenjata Masyitah, dan LSM JARI dari Lhokseumawe
Masyitah mengatakan, pada tahun 1990-an, perempuan Aceh pada masa konflik terpaksa harus menjadi tulang punggung keluarga untuk mencari nafkah dikarenakan laki-laki tidak boleh keluar.
Bahkan mirisnya, kata dia, perempuan pada saat itu kerap kali menjadi korban pelecehan seksual oleh aparat bersenjata.
“Namun, pasca ditandatangi MoU Helsinki tahun 2005, perempuan tidak perlu mencari nafkah lagi, karena keluarga atau suami sudah bisa kembali dan berkumpul bersama,” katanya.
Kuliah umum ini pun cukup memantik semangat para audien yang hadir untuk bertanya, diantaranya muncul pertanyaan dari beberapa mahasiswa Amikom Yogyakarta dan mahasiswa UMUSLIM.