Opini

Migas dan Kemiskinan Aceh

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

WAHYU ICHSAN MA, Koordinator Islamic Civilization In Malay Archipelago Forum (ICOMAF)

Harapan pertumbuhan ekonomi senantiasa dinyanyikan kepada masyarakat, meski tidak secara langsung paling tidak membuka lapangan kerja.

Padahal selain dengan pertumbuhan ekonomi, salah satu indikator pembangunan lainnya adalah jumlah penduduk miskin.

Apabila kehadiran sebuah investasi mampu mengurangi kemiskinan di suatu wilayah, maka wilayah ini dapat dikatakan telah berhasil dari satu aspek pembangunan.

Hari ini, kita semua menabur harapan pada harta karun temuan terbaru ini, terutama terhadap pengentasan kemiskinan yang sudah berkarat di Aceh.

Bayangkan sejak 2002 hingga kini 2022, Aceh selalu menjadi provinsi termiskin di Sumatra, genap sudah 20 tahun dikenal sebagai provinsi syariat namun miskin.

Bahkan Aceh Utara sendiri adalah salah satu penyumbang penduduk miskin terbanyak di Aceh.

Secara logika, harusnya berada pada taraf sejahtera.

Namun, faktanya angka kemiskinan di daerah penghasil migaslah yang paling tinggi.

Amazing.Situs resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2017 merilis 18 provinsi penghasil migas.

Delapan provinsi di antaranya memiliki presentasi angka kemiskinan di atas rata-rata angka kemiskinan nasional yaitu 10,86 persen— data Badan Statistik Pusat (BPS) per September 2016 terdapat tiga daerah dengan angka kemiskinan tertinggi yaitu Aceh (16,98 persen), Maluku (18,44 persen), dan Papua Barat (27,8 persen) (kompas.com 11/7/2017).

Apa penyebabnya? Tentu karena tata kelola ekonomi kita masih berkubang kapitalisme.

Sudah jamak diketahui dunia, bahwa Kapitalisme tidak akan mampu mengentaskan kemiskinan.

Hal ini karena kapitalisme memberikan hak kepemilikan ada pun jenisnya kebebasan untuk dimiliki oleh siapa pun, yang dalam perspektif syariah (sebagai provinsi syariah) minyak dan gas dan berbagai sumber daya yang jumlahnya besar dan dibutuhkan oleh komunitas masyarakat masuk dalam kategori kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara (bukan swasta apalagi swasta asing) untuk dimanfaatkan sebesar- besarnya kepada umat.

Jika provinsi Aceh hari ini telah memiliki Qanun Lembaga Keuangan Syariah, maka bukan tidak mungkin ke depan Aceh memiliki Qanun Ekonomi Syariah yang membahas lingkup yang jauh lebih besar lagi, sehingga dapat menentukan status kepemilikan yang sesuai dengan syariah.

Kepemilikan umum bukan hanya bicara minyak dan gas bumi, namun juga bicara semua hal yang berkaitan dengan sesuatu yang dibutuhkan oleh komunitas masyarakat, mulai dari sumber daya air, sumber daya hutan, sumber daya energi, tambang emas, perak, tembaga, nikel, bijih besi batu bara, jalan termasuk tol, jembatan, sungai, danau, gunung, bukit, laut, pantai dan sebagainya.

Halaman
123

Berita Terkini