Sastra Gayo

Kisah LK Ara, Ceh Lakiki Mengarang Didong Gayo Sambil Memejamkan Mata

Penulis: Fikar W Eda
Editor: Eddy Fitriadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Penyair LK Ara. Kisah LK Ara, Ceh Lakiki Mengarang Didong Gayo Sambil Memejamkan Mata.

Laporan Fikar W Eda | Jakarta

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Lakiki, salah seorang ceh (penyair) didong Gayo legendaris. Karya-karya didongnya terus dihafal sampai sekarang.

Di antara karya Lakiki yang sangat populer adalah; Utih Roda, Lengakwi, dan Pegasing.

Penyair LK Ara beruntung berhasil mendokumentasikan karya-karya didong Lakiki, dan merekam kehidupan keseharian Lakiki.

"Lakiki kalau mengarang didong selalu memejamkan matanya," kata LK Ara dalam Bincang Sastra Lisan Pusat Kebudayaan Gayo secara virtual, Selasa (26/7/2022).

Bincang sastra lisan itu dimoderatori Yusradi Suman al-Gayoni.

LK Ara mengungkapkan, Lakiki yang memiliki nama lengkap Muhammad Baasyir Lakiki adalah "ama ecek" dari LK Ara.  Ama ecek, artinya, adik dari bapak LK Ara.

LK Ara dan Lakiki sama-sama tinggal di Kampung Kute Lintang Pegasing. Sejak kecil LK Ara sudah dekat dengan Lakiki. "Saya selalu mendengar yang didendangkan Lakiki," kenang LK Ara.

LK Ara menceritakan, tangan kanan Lakiki selalu dekat telinganya. Lakiki biasa membuka dan menutup telinganya saat berdidong.

“Apa yang dikisahkan Lakiki dalam puisi Utih Roda, Lengkawi, Pegasing, dan karya-karya yang lain, dialami langsung oleh Lakiki. Ketika dia bertemu dengan orang, mereka bercerita. Saat bertemu dengan pohon, seolah seperti tanya-jawab. Itu yang jadi inspirasi Lakiki. Lakiki menciptakan karangan didong saat memejamkan matanya. Saat matanya sudah terpejam, pikirannya hanya tertuju pada karya yang akan dia lahirkan. Dia betul-betul konsentrasi, tidak memikirkan yang lain lagi,” kisah LK Ara terkait ciri khas dan proses penciptaan karya Ceh Muhammad Baasyir Lakiki. 

Kedekatan emosional dan pentingnya pendokumentasian karya-karya ceh didong tadi, aku LK Ara, yang mendorongnya untuk mengumpulkan karya-karya ceh didong.

“Terlebih, ibu saya dari Kute Lintang. Tambah, Bapak dari Kung, sekampung dengan Sali Gobal. Tinggal sekampung. Rumah tidak terlalu jauh juga dengan Sali Gobal," cerita LK Ara.

Pengumpulan tadi makin intensif dilakukan LK Ara, saat dirinya dihadiahi tape recorder oleh Idrus, sahabatnya yang juga seorang pengarang. 

"Waktu pulang dari Jakarta ke Takengon, saya mulai merekam karya-karya ceh didong. Yang pertama saya rekam, Lakiki. Saya bilang, Ama Ecek, biar direkam di tape ini. Rekamannya di Uning. Masyarakat sekitar sangat antusias menyaksikan Lakiki. Itu pertama kali saya merekam ceh didong. Hari demi hari, terus merekam ceh yang lain. Termasuk, Sali Gobal,” ungkapnya.  

Setelah penuh satu kaset, sambung LK Ara, dilanjutkan dengan kaset yang lain. Lalu, disalin. Diketik berulang-ulang. “Karya yang banyak tadi, distensil, bukan cetak. Prosesnya agak panjang. Buku stensil tadi ternyata disimpan oleh Libray of Congress dan tujuh universitas di Amerika Serikat. Dokumentasi tadi juga jadi bahan saya dalam menyusun buku Sastra Lisan Gayo,” aku LK Ara, berkenaan dengan kondisi pendokumentasian yang dijalaninya.  

Di Jakarta, sambungnya, dia punya sahabat yang saling menguatkan, Prof. M. J. Melalatoa yang waktu itu masih belum jadi guru besar dan Jahidin Minosar.

“Kami saling menguatkan urusan seni, sastra, dan kebudayaan Gayo. Sebelum kami menikah, kami sering kumpul, tidur bareng, dan kadang cerita sampai pagi. Di antara perbincangan itu, kemudian melahirkan Lembaga Kebudayaan Gayo Alas,” kenang LK Ara. 

LK Ara lahir di Kute Lintang, Takengon, Aceh Tengah, tanggal 12 November 1937. Sejak akhir tahun 1960-an, mulai mendokumentasikan sastra lisan Gayo, berpuisi, berkerja di media, aktif di teater dan satu di antara pendiri Teater Balai Pustaka, kemudian bekerja sampai pensiun di Balai Pustaka, menyusun/menulis seratusan judul buku, dan masih produktif menulis puisi di media sosial Facebook sampai sekarang, dan bahkan menginjak usianya 85 tahun, LK Ara jadi YouTuber.

Sastra lisan adalah sastra yang mencakup ekspresi kesusasteraan warga kebudayaan yang disampaikan turun menurun dengan ucapan. “Biasanya, disampaikan pencerita kepada pendengar. Masyarakat saling bertukar cerita. Cerita tersebut hidup di tengah-tengah masyarakat,” kata LK Ara.(*)

Berita Terkini