Sukarno adalah politisi jenius, yang sangat piawai membaca situasi.
Ia juga sangat cerdas dalam “membaca” Beureueh sebagai seorang ulama berpengaruh, namun “lugu” dalam politik tingkat tinggi.
Sukarno sangat mengetahui alasan Beureeueh bergabung dengan Republik.
Sebagai tokoh sentral pendiri bangsa, Sukarno sangat sigap melihat “riil politik”, di mana Beureueh adalah tokoh sentral Aceh pada masa itu.
Untuk itu, apalagi dalam keadaan darurat, “konsesi” apapun akan ia berikan, asalkan Indonesia utuh dan impian Belanda untuk kembali ke Indonesia sirna.
Seperti diketahui salah satu alasan Beureueh bergabung dengan negara baru, Republik Indonesia sangat dipengaruhi oleh semangat gelombang besar “pan Islam” cetusan Muhamad Abduh dan Rasyid Ridha tentang konsep “ummah.”
Beureueh melihat Indonesia sebagai mayoritas Islam, sehingga dalam konsep ummah, ia mengambil resiko “melepas” identitas Aceh sebagai sebuah bangsa, dan mengambil identitas “baru”, menjadi bagian dari sebuah keluarga besar Indonesia.
Jawaban terhadap imajinasi dan pertanyaan tentang “hilangnya” peran sejarah Beuereueh dalam tinta emas bangsa ini segera terjawab dengan satu kalimat.
Beureueh memilih sisi yang salah dari konsep negara bangsa, tak peduli betapa ia sangat berjasa.
Ia melawan pemerintah pusat. Ia melawan Sukarno. Ia memberontak melawan pemerintah yang sah.
Semua itu adalah vonis final terhadap konsekwensi pemberontakan yang dipilih Beureueh.
Oleh karena itu, karena negara butuh “doktrin”, untuk menanam DNA kebangsaan kepada generasi penerus, individu yang berasosiasi dengan pemberontakan tak layak mendapat tempat terhormat.
Nama Beureueh tak patut ditulis dalam sejarah resmi negara.
Sebaliknya, namanya harus ditulis dengan huruf tebal, bahwa ia berasosiasi dengan pengkhianatan, tak peduli apa pun yang telah ia perbuat untuk Republik, hatta berbagai “jasa besarnya”.
Sekalipun berbagai diskursus tentang peran dan jasa sentral Aceh untuk kemerdekaan, dan hal itu umumnya berkaitan dengan namanya, jangan pernah bermimpi ia akan menjadi pahlawan nasional.
Walaupun bobot jasanya, kalaupun tak sangat besar, namun berada di atas rata-rata, bahkan jauh di atas rata-rata berbagai pahlawan nasional yang diakui, cap pengkhianat republik tak akan pernah terhapus dari namanya.