Di depan ada vonis majelis hakim, lalu setelahnya para pihak yang tidak puas masih bisa banding ke pengadilan tinggi.
Jika juga belum puas atas vonis pengadilan tinggi, masih bisa kasasi ke Mahkamah Agung.
Jadi, “drama” hukum ini masih panjang dan membutuhkan waktu yang lama pula.
Ketidakpuasan keluarga Yosua Hutabarat sebetulnya itulah gambaran umum perasaan masyarakat kecil saat berhadapan dengan proses hukum di negeri ini.
Intinya kebanyakan merasa tak memperoleh keadilan.
Kita tidak tahu mengapa begitu banyak masyarakat yang merasa kecewa terhadap hasil proses hukum di Indonesia.
Tapi, tiga hari lalu, seorang anggota Kimisi II DPR-RI, Komjen (Purn) Adang Daradjatun, menyebut restorative justice mulai diperjualbeli.
Saat ini, menurut Adang ada kondisi di negeri ini yang memberikan kesempatan bagi masyarakat dengan kemampuan ekonomi tinggi untuk membeli keadilan.
Baca juga: Anak Gadisnya Tampak Happy di Dunia Maya di Saat Ferdy Sambo Dituntut Jaksa Penjara Seumur Hidup
Adang Daradjatun, mengaku menemukan praktik-praktik jual-beli penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif atau restorative justice.
Dia mengaku pihaknya menemukan praktik itu dalam implementasinya di lapangan.
Apa yang diungkapkan Adang adalah salah satu sebab masyarakat kecil sering tidak mendapatkan rasa adil saat berhadapan dengan hukum.
Di mata sebagian masyarakat, hukum seolah menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena.
Saat ini yang “mengatur” hukum di Indonesia adalah yang mempunyai kekuasaan dan yang mempunyai uang.
Padahal, keadilan milik semua manusia.
Tidak peduli kaya dan miskin.