Ia merupakan salah seorang tokoh dan elite GAM yang paling disegani saat konflik berkecamuk di Aceh.
Abdullah Syafi'i atau Teungku Lah ini lahir di Bireuen, Aceh pada Minggu 12 Oktober 1947.
Dalam catatan Serambi yang ditulis jurnalis Subur Dani (2021), Teungku Lah merupakan sosok yang ramah dan santun serta konsisten di garis perjuangan GAM.
Ia adalah sosok bersahaja dan humanis.
Di balik sosoknya yang bersahaja, sopan, religius, dan dicintai rakyat Aceh, kisah perjuangan dan hidup Teungku Lah berakhir dengan tragis.
Teungku Lah meninggal bersama istrinya, Cut Fatimah serta dua pengawal setianya dalam pertempuran dengan pasukan TNI di hutan Pidie Jaya 21 tahun silam.
Meski sudah lama tiada, sosok Tgk Lah masih sangat melekat di hati dan pikiran masyarakat Aceh, terutama para eks kombatan GAM yang pernah berjuang bersamanya.
Dalam sejarah perjuangan GAM, sosok Teungku Abdullah Syafi'i tertulis dengan tinta emas.
Saban tahun, para eks kombatan memperingati meninggalnya Teungku Lah dengan berbagai cara.
Bahkan tak sedikit pula, masyarakat Aceh yang memposting ulang foto almarhum di medsos saban 22 Januari.
Ia juga dikenal sosok sederhana, taat beribadah dan tidak bicara sembarangan.
Sifatnya yang santun, membuat orang tidak pernah marah kepadanya dan bila ia berbicara berisi nasihat dan bijaksana.
Ia juga dikenal dengan sosok yang ikhlas berjuang di garis terdepan tentara GAM.
Sebulan sebelum ia syahid, Abdullah Syafi'i menuliskan wasiat yang seolah menjadi pertanda perjuangannya akan berakhir.
Wasiat terakhir Panglima GAM itu ditulis sebelum ia gugur dalam kontak senjata di kawasan perbukitan Jim-jim, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya pada 22 Januari 2002.