Laporan: Dr dr Safrizal Rahman SpOT, Ketua IDI Wilayah Aceh, dari Adana, Turkiye
PERJALANAN kami menuju Kahramanmaras, salah satu provinsi di Turkiye yang paling parah terdampak gempa, memakan waktu lumayan lama.
Tim Kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Aceh dan Universitas Syiah Kuala (USK) menyewa mobil minibus besar dan memuat berbagai kebutuhan pengungsi yang kami beli di Kota Adana, Turkiye.
Insiden kecil menyertai perjalanan kami ketika mobil mengalami pecah ban di tengah terowongan dan membutuhkan waktu satu jam untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Kami tiba di Desa Abbaslar, Kahramanmaras, sekitar pukul 22.00 malam, saat suhu 2 derajat Celsius dengan kondisi lampu penerangan di lokasi tenda yang hidup mati alias byar-pet.
Namun, kehangatan penyambutan oleh masyarakat pengungsi melupakan semua itu.
Para korban gempa yang selamat (penyintas) umumnya memilih memasang tenda di depan atau samping rumah mereka yang runtuh.
• Bagian 1- Turkiye, Kamu tidak Sendiri
Dalam waktu hanya lima hari sejak bencana terjadi 6 Februari, AFAD atau BNPB-nya Turkiye berhasil memasang semua tenda dan mengevakuasi banyak masyarakat dari daerah terdampak ke tempat yang aman.
Pemerintah Turkiye meliburkan universitas di daerah sekitar lokasi terdampak, dan memakai asrama mahasiswa menjadi tempat masyarakat untuk mengungsi, khususnya bagi kelompok rawan, seperti manusia lanjut usia (manula) dan anak-anak.
Namun, terlepas dari itu kami pun mendapatkan banyak sanak saudara, yakni mereka yang datang memberi support tinggal sementara di tenda sebagai bentuk perhatian dan pemberi semangat bagi mental mereka yang umumnya jatuh (down) karena gempa dan kerusakan yang terjadi sangat luar biasa.
Kami bertemu dengan salah seorang pengungsi bernama Serda Abi yang mengajak kami melihat kamp pengungsian mereka.
Seperti biasa kedatangan tim dari jauh sangat mereka hargai, bahkan mereka sempat menjamu kami dengan bubur dan roti.
Mereka juga menyampaikan salam kepada masyarakat Aceh.
Setelah mengetahui kami adalah rombongan tim medis, maka beberapa pengungsi mulai minta agar diperiksa kesehatannya.
Paling tidak malam itu ada enam pasien yang kami periksa.
Salah satu dari mereka mengalami patah tulang pada daerah lutut, sedangkan yang lain mengalami nyeri pada berbagai tempat akibat terkena reruntuhan bangunan.
Malam ini kami bermalam di tenda dengan suhu yang semakin dingin hingga mencapai -4 derajat Celsius.
Beberapa teman memutuskan untuk bertayamum saja menjelang shalat karena tidak sanggup menahan dinginnya air untuk berwudu.
Pagi harinya kami memberikan bantuan kebutuhan hidup untuk para pengungsi, termasuk sanitarian kit yang merupakan sumbangan dari berbagai pihak.
Termasuk sumbangan dari Rumah Amal dan pengusaha Aceh di Jakarta, yakni Ismail Rasyid, serta para sejawat dokter.
Kelihatannya ada beberapa kebutuhan yang tidak terpikirkan sebelumnya, seperti pakaian dalam yang barang kali mendesak juga untuk dibantu.
Melihat kerusakan yang terjadi, saya merasa dejavu dengan tsunami Aceh tahun 2004.
Ada beberapa masjid yang juga terlihat roboh serta beberapa lainnya mengalami kerusakan parah, hingga beberapa di antaranya tidak bisa digunakan lagi.
Namun, saat waktu shalat tiba, kami tetap mendengarkan suara azan berkumandang.
Saya dan beberapa teman kemudian berdiskusi apakah mungkin Pemerintah dan masyarakat Aceh membangun kembali salah satu masjid di Turkiye sebagai tanda persahabatan Aceh dan Turkiye?
Kami yakin Pemerintah Turkiye sanggup membangun kembali fasilitas ibadah tersebut, tapi bentuk perhatian dan menghadirkan kekhasan Aceh di Kahramanmaras (Kota Pahlawan) adalah hal yang satu saat kelak akan dikenang oleh anak cucu kita. Salam dari Kahramanmaras.(*)
• Hasil Liga Spanyol: Real Madrid Dekati Barcelona, Villarreal Ditekuk Mallorca, Real Betis Menang
• Kampanyekan Hidup Sehat, KJPJ Pijay Gelar Donor Darah, Targetkan 150 Kantong
• Pj Bupati Nagan Raya akan Lepas Ribuan Peserta Jalan Santai Bersama BUMN di Alun-alun Suka Makmue