Oleh: Risman Rachman*)
Doeloe, mengikut cerita, di Batavia, ada anak muda suka pamer kekayaan, juga sangat arogan yang berakhir mati dihukum gantung di muka umum.
Oey Tamba Sia namanya.
Pamernya gila.
Bayangkan, cebok saja pakai uang kertas.
Uang yang sudah berlepotan najis yang dibuang ke sungai Glodok itu lalu diperebutkan warga.
Oey juga sosok playboy, yang suka mempermainkan anak gadis orang.
Remaja tampan itu yang mewarisi kekayaan orangtuanya, juga suka berkeliling kota dengan kuda Australia ditemani perempuan cantik, dan dikawal dua centeng, Piun dan Sura.
Jika sudah berkemauan, Oey tak segan-segan menggunakan pengaruh kekayaannya bahkan bisa saja melakukan kekerasan.
Dalam sebuah aksi pembunuhan karena dibakar cemburu, Oey bahkan rela meracuni pembantunya Tjeng Kie dan memfitnah rivalnya Liem Soe King sebagai pelaku.
Singkat cerita, tuduhan pun berbalik mengenai dirinya dan pengadilan Landraad menjatuhkan hukuman gantung yang dilaksanakan pada 7 Oktober 1856.
Kisah hidupnya melegenda di kalangan masyarakat Jakarta dan menjadi basis beberapa pantun, karya sastra dan cerita rakyat.
BACA kisahnya di SINI.
Baca juga: Remaja Korban Penganiayaan Anak Pejabat Pajak Masih Koma, Dipindah ke Rumah Sakit Lain
Kembali Terulang
Ternyata, di zaman ini, model anak muda 167 tahun lalu yang suka pamer kekayaan, arogan dan tidak takut anak orang mati, kembali terulang.
Publik digegerkan oleh beredarnya video penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satrio (20) terhadap Cristalino David Ozora (17).
Dengan sangat arogan, Dandy terus menghajar David walau sudah tidak berdaya.
Dan parahnya lagi, sambil mengatakan “Gak takut gue anak orang mati, mau lapor, lapor an***ng.”
Dan, alangkah murkanya publik kala mengetahui terduga pelaku penganiayaan itu adalah anak pejabat pajak yang memiliki kekayaan hampir setara dengan Sri Mulyani.
Dan, kini terungkap pula bahwa harta Rp56 M milik Rafael, orangtua tersangka pelaku penyiksaan, sudah lama dicurigai, tapi tidak ditindaklanjuti.
Tidak berhenti di situ, terungkap pula 13 ribu lebih pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum menyetor Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Baca juga: VIDEO - Buntut Anak Pejabat Pajak Aniaya Remaja, KPK Ultimatum 13 Ribu Pegawai Kemenkeu Lapor LHKPN
Sikap arogan dan suka pamer kemewahan anak pejabat pajak, serta tidak jelasnya harta kekayaan pejabat pajak itu jelas melukai hati warga yang selama ini dimintai untuk taat membayar pajak dan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
Bukankah Pemerintah membutuhkan uang pajak? Tapi mengapa pejabat pajak dan keluarga sedemikian rupa?
Tahun ini saja, mengutip Sri Mulyani, uang pajak akan digunakan sebesar Rp608,3 triliun untuk pendidikan, Rp169 triliun untuk kesehatan, Rp479 triliun untuk bantuan sosial dan perlindungan sosial, serta untuk pembangunan infastruktur yang akan digunakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Tapi, bagaimana rakyat bergairah membayar pajak?
Pengaruh, Jejarang, dan Pengawasan Publik
Rakyat Indonesia baru saja melewati satu kasus arogansi polisi terhadap polisi, yang menyebabkan Brigadir Joshua Hutabarat yang terbilang masih muda tewas diterjang peluru hasil mufakat jahat atasannya, Ferdy Sambo.
Beruntung publik mengawalnya dengan sangat antusias, sehingga membuat semua petinggi tidak bisa mengelak untuk tidak mendukung pengusutan tuntas tanpa rekayasa.
Dan, berkat kesediaan Bharada Eliezer menjadi justice collaborator, semua yang terlibat mendapat vonis yang didukung oleh publik luas.
Kini, publik kembali memainkan peran pengawasannya yang kembali mengalahkan wakil rakyat dan lembaga-lembaga, yang harusnya lebih sigap melakukan pengawasan.
Pelaku yang melakukan penganiyaan dengan brutal, serta yang ikut terlibat sudah ditahan dan diperiksa.
Begitu juga dengan pejabat pajak, sudah dicopot dari jabatan dan tugasnya dan bahkan mengajukan pengunduran diri.
Tapi, korban masih beruntung karena anak dari sebuah organisasi yang memiliki pengaruh dan jejaring yang luas, yaitu GP Ansor.
Dengan pengaruh dan jejaring yang luas itu, si kaya yang arogan dibuat tidak bisa berkutik.
Sama seperti Brigadir Joshua yang memiliki jejaring kekerabatan yang kompak.
Lantas, bagaimana dengan kekerasan yang dialami oleh warga negara bisa, bukan siapa-siapa secara politik di negeri ini, dan secara kedaerahan dan kekerabatan juga tidak kuat?
Tentu kita berharap respon yang sama berlaku untuk semua warga negara, yang apabila menjadi korban dari tindakan yang bertengangan dengan hukum, siapapun pelakunya haruslah ditindak dan publik wajib juga peduli.
Jangan ada perasaan “kita” dan “mereka.”
Kalau “mereka” yang dianiaya boleh dan tidak perlu ditindak pelakunya.
Tapi, kalau “kita” yang dianiaya maka kemanapun akan siap dikejar.
Saleum hormat untuk publik yang baik, peduli dan terus mengawal Indonesia agar menjadi lebih baik dan sehat lagi, sehingga NKRI menjadi rumah yang aman bagi siapa saja.(*)
*) PENULIS adalah Direktur Koalisi NGO HAM (2003).
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI