Oleh Agustian Hasnan Hakim *)
“Kalau postinganmu sepi, artinya kamu gak penting.”
Ungkapan ini bukan lagi lelucon di kalangan anak muda, tapi mencerminkan kenyataan pahit bahwa banyak dari kita mulai mengukur nilai diri dari jumlah jempol dan komentar di media sosial.
Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda.
Di satu sisi, ia menawarkan ruang ekspresi, koneksi global, dan bahkan peluang ekonomi.
Namun, di sisi lain, media sosial telah menciptakan fenomena yang memprihatinkan: kecanduan validasi digital, yaitu dorongan terus-menerus untuk merasa diakui dan diterima secara daring.
Menurut survei IDN Research Institute (2024), sebanyak 73 persen Gen Z Indonesia menjadikan media sosial sebagai sumber utama dalam mengakses berita, meninggalkan media konvensional seperti televisi dan cetak.
Ini menunjukkan betapa besar peran media sosial dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Penelitian dari American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat mempengaruhi jalur dopamin di otak, yang berperan dalam pemrosesan penghargaan, sehingga menimbulkan ketergantungan yang mirip dengan kecanduan zat tertentu.
Hal ini menjelaskan mengapa banyak remaja dan dewasa muda merasa cemas, gelisah, bahkan depresi ketika unggahannya tidak mendapat respons yang diharapkan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, media sosial menciptakan standar kehidupan yang sering kali tidak realistis.
Kita terbiasa melihat potongan terbaik dari hidup orang lain, seperti liburan mewah, tubuh ideal, dan hubungan harmonis, dan tanpa sadar membandingkannya dengan realita kita yang penuh tantangan.
Akibatnya, lahirlah generasi yang mudah minder, cepat merasa gagal, dan terus merasa tidak cukup.
Namun di tengah realitas digital yang membentuk persepsi ini, ada hal-hal sederhana namun penting yang bisa dilakukan sebagai pengguna media sosial:
- Tetapkan batas waktu: Mengatur durasi harian penggunaan media sosial bisa membantu menjaga keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata.
- Nonaktifkan notifikasi: Mengurangi gangguan digital membantu kita lebih fokus pada kehidupan nyata, bukan sekadar menunggu notifikasi masuk.
- Berhenti mengejar validasi: Tidak semua yang kita rasakan harus dibagikan. Tidak semua respons harus dicari. Kita tetap berarti, meski tak selalu terlihat.
- Lakukan digital detox secara berkala: Istirahat sejenak dari media sosial dapat membantu menyegarkan pikiran, mengenali kembali diri sendiri tanpa filter dan tekanan luar.
Media sosial seharusnya menjadi alat untuk ekspresi dan koneksi, bukan sumber krisis eksistensial. Kita boleh eksis di media sosial, tapi jangan sampai identitas kita ditentukan olehnya. Karena di luar layar, kita tetap berharga bahkan tanpa satu pun like.
Atau cuma belum cukup tua untuk berhenti bergantung?
*) PENULIS adalah Anggota Muda Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN-A), Direktur FDI Hipokampus FK USK
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.