Opini

Dari Masa ke Masa, PKA 8 Mau ke Mana?

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ir Fikar W Eda MSn, Penyair dan jurnalis, Saat menicipi buah jamblang saat memwawancarai pedagang buah musiman tersebut di Jembatan Pante Pirak, Banda Aceh, Jumat (29/6/2018) malam

Ir Fikar W Eda MSn, Penyair dan jurnalis

PEKAN Kebudayaan Aceh (PKA) 8 dijadwalkan Agustus 2023. PKA pertama kali dilaksanakan pada 1958, dilanjutkan PKA 2 Tahun 1972, PKA 3 1988, PKA 4 2004, PKA 5 2009, dan PKA 6 pada 2013, PKA 7 2018. Pekan Kebudayaan adalah ruang ekspresi bukan saja untuk tujuan pembangunan kebudayaan, melainkan juga ekonomi dan jembatan pemulihan luka sosial Aceh. Semangat inilah yang muncul sejak PKA 1 1958.

Gubernur Aceh periode 1957-1964 Prof  A Hasjmy menilai PKA telah berhasil mengembalikan harga diri dan martabat orang Aceh. Ia merujuk pada kenyataan yang terjadi pada 1953, ketika pecah peristiwa Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Gerakan tersebut oleh Pemerintah masa itu dan golongan-golongan yang mendukungnya, dianggap sebagai gerakan pengkhianatan terhadap Indonesia. Akibatnya, tulis Hasjmy, martabat dan harga diri orang Aceh, dicabik-cabik oleh gelombang cemoohan, yang berkesudahan orang-orang Aceh merasa malu menjadi “orang Aceh.”

Luka Aceh itu  dipulihkan melalui jalan budaya dengan menggelar PKA pada 1958, menyusul ditingkatkannya status Aceh menjadi daerah istimewa  yang memberikan hak-hak otonomi khusus dalam bidang agama, pendidikan, dan adat budaya.

“Adalah satu kenyataan bahwa PKA telah berjasa dalam usaha mengembalikan harga diri orang Aceh,”  tulis Hasjmy lagi selaku Ketua Umum Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA)  dalam  buku “Menjenguk Masa Lampau, Menjangkau Masa Depan Kebudayaan” terbitan 1991.

Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Prof Dr Darwis A Soelaiman MA menyebut jalan budaya sebagai pilihan paling manusiawi dan memiliki harkat tinggi untuk memulihkan “luka” Aceh yang terlanjur menganga akibat kecamuk perang dan konflik masa DI/TII.

A Hasjmy, Sjamaun Gaharu, dan  Teuku Hamzah adalah "tokoh tiga serangkai" di balik penyelenggaraan PKA 1 1958.

Waktu itu Hasjmy menjabat Gubernur Aceh, Letkol Sjamaun Gaharu Panglima Kodam Daerah  Aceh, dan Mayor T Hamzah Kepala Staf Kodam Daerah Militer Aceh dan Ketua Umum PKA 1. Ketiganya berhasil meletakkan jembatan budaya yang merekatkan cita-cita Aceh bermartabat.

Setahun setelah itu, pada 1959, Presiden Soekarno datang ke Aceh, meresmikan Kota Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam, yang kelak menjadi tonggak terpenting dalam pendidikan generasi Aceh.

PKA 1 dipersiapkan oleh Lembaga Kebudayaan Aceh (LKA) dibentuk 1957, diketuai Mayor T Hamzah.
Semangat memilih jalan budaya kembali menjalar dalam dada dan kepala kaum terpelajar Aceh pada periode berikutnya. Era Orde Lama (Orla) berlalu, digantikan Orde Baru (Orba).
Menyahuti napas baru itu, di Aceh juga mulai terjadi perubahan.

Rentang waktu sejak 1958 sampai 1966 dengan segala peristiwa  sosial dan politik, membuat Aceh tak leluasa mengembangkan diri, meski telah diberi status istimewa di bidang pendidikan, adat, dan agama.
Darwis A Soelaiman melukiskan masa itu sebagai sebuah keadaan yang mengungkung. Dengan perubahan rezim, seolah ada harapan baru untuk mengisi pembangunan. Memberi makna baru dalam derap kehidupan masyarakat Aceh.

Sebuah organisasi kesenian pun didirikan, namanya Lembaga Pembina Seni Budaya Aceh atau LPSBA pada 1967. "Jalan budaya kembali menjadi  pilihan cemerlang untuk membuka isolasi Aceh," kata Darwis mengenai gagasan menyelenggarakan kembali PKA pada 1972.

T Hamzah yang sudah menjadi Brigjen dan menjabat Panglima Kodam Aceh menyampaikan kembali idenya untuk menggelar PKA 2. Itu dia sampaikan dalam satu pertemuan pengurus LPSBA saat memberi sambutan dalam acara Ceramah Sastra di Bioskop Garuda Banda Aceh. Ide itu terus bergaung. Gubernur Aceh Muzakir Walad, Rektor Unsyiah A Madjid Ibrahim, dan Dekan Fakultas Ekonomi Unsyiah Ibrahim Hasan sepakat gagasan "menempuh jalan budaya"  mulai dijalankan. T Hamzah sendiri sudah pindah ke Jakarta.

Sebagai "jalan pembuka" didatangkan penyair dan dramawan WS Rendra dengan kelompok Bengkel Teater Rendra ke Aceh. Mementaskan "Kasidah Barzanji" di depan Masjid Raya Baiturrahman dan drama Sophocles "Oedipus Rex" di Perbasi Peunayong Banda Aceh pada Oktober 1971. Pilihan mendatangkan Rendra, dia dianggap tokoh yang mampu membawa perubahan. Tokoh pendobrak. Ia sedang top di Indonesia sebagai seniman yang kritis dan humanis.

Halaman
12

Berita Terkini