Opini

20 Tahun Perdamaian Aceh, Menatap Masa Depan dengan Keadilan dan Kesejahteraan

Editor: Ansari Hasyim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ir. H. Muhammad Iqbal, Ketua Umum KADIN Aceh

Oleh: Ir. H. Muhammad Iqbal, Ketua Umum KADIN Aceh

“Di tanah yang damai, setiap keringat yang menetes menjadi benih kemakmuran. Dan di tengah kemakmuran, damai menemukan rumahnya”

DUA puluh tahun lalu, Aceh menorehkan sejarah penting ketika kesepakatan damai ditandatangani. Perjanjian itu menjadi tonggak berakhirnya konflik berkepanjangan dan membuka lembaran baru bagi masyarakat Aceh untuk hidup dalam suasana aman, tentram, dan penuh harapan. Kini, dua dekade telah berlalu. Perdamaian telah memberi ruang bagi Aceh untuk membangun diri, namun tantangan ekonomi masih terasa.

Sebagai Ketua Umum KADIN Aceh, saya melihat perdamaian bukan sekadar ketiadaan konflik, melainkan modal dasar untuk membangun kesejahteraan. Perdamaian adalah fondasi yang harus diisi dengan kerja keras, inovasi, dan kolaborasi. Tanpa kemajuan ekonomi yang merata, perdamaian berisiko menjadi hanya sebuah narasi, bukan kenyataan yang dirasakan di setiap rumah tangga.

Selama dua puluh tahun ini, berbagai kemajuan memang telah dicapai. Infrastruktur dibangun, layanan publik membaik, dan investasi mulai berdatangan. Namun, data ekonomi menunjukkan bahwa pertumbuhan belum sepenuhnya inklusif. Tingkat kemiskinan di Aceh masih berada di atas rata-rata nasional, lapangan kerja belum terbuka secara optimal, dan daya saing usaha lokal masih perlu diperkuat.

Di sinilah KADIN Aceh mengambil peran. Kami memandang momen 20 tahun perdamaian ini sebagai titik refleksi sekaligus titik lompatan. Sudah saatnya Aceh mengakselerasi pertumbuhan ekonomi melalui pendekatan yang strategis: memperkuat sektor unggulan, menarik investasi berkualitas, memperluas pasar, serta memastikan setiap pertumbuhan ekonomi berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat.

Perdamaian memberi kita kesempatan langka yang tidak dimiliki semua daerah: stabilitas politik dan keamanan yang relatif terjaga. Stabilitas ini adalah magnet bagi investasi. Namun, magnet itu hanya akan bekerja jika kita menyiapkan ekosistem yang ramah investasi—perizinan yang cepat dan transparan, infrastruktur pendukung yang memadai, dan kepastian hukum yang melindungi pelaku usaha.

Aceh memiliki potensi besar di berbagai sektor. Pertanian dan perkebunan, khususnya kopi Gayo, kelapa sawit, dan pala, dapat diolah menjadi produk bernilai tambah tinggi. Sektor perikanan dan kelautan memiliki peluang ekspor yang menjanjikan. Energi terbarukan, pariwisata berbasis budaya dan alam, hingga ekonomi digital, semuanya memiliki ruang tumbuh yang luas. Pertanyaannya: apakah kita cukup serius untuk menggarapnya?

KADIN Aceh percaya bahwa investasi tidak boleh dipandang hanya sebagai modal uang, tetapi juga modal pengetahuan, teknologi, dan jaringan pasar. Setiap investor yang datang harus menjadi mitra yang mendorong transfer teknologi dan peningkatan kapasitas tenaga kerja lokal. Dengan begitu, manfaat investasi bisa dirasakan secara berkelanjutan, bukan sesaat.

Selain itu, perdagangan lintas batas perlu kita hidupkan kembali. Aceh memiliki posisi strategis di jalur pelayaran internasional, dekat dengan Malaysia, Thailand, dan India. Pelabuhan-pelabuhan kita, seperti Krueng Geukueh dan Sabang, harus dioptimalkan sebagai pintu keluar produk-produk Aceh ke pasar dunia. Revitalisasi jalur perdagangan ini akan menjadi lokomotif baru bagi ekonomi daerah.

Dua puluh tahun perdamaian juga harus dimaknai sebagai dua puluh tahun membangun kepercayaan. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, dunia usaha kepada birokrasi, dan investor kepada iklim usaha Aceh. Kepercayaan ini dibangun melalui konsistensi kebijakan, transparansi, dan komitmen untuk menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama.

Sebagai mitra strategis pemerintah, KADIN Aceh mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk memperkuat sinergi. Pemerintah daerah perlu memberikan kepastian regulasi, dunia usaha siap berinvestasi dan berinovasi, akademisi berperan dalam riset dan pengembangan, sementara masyarakat menjadi pelaku aktif dalam menggerakkan ekonomi. Kolaborasi ini bukan pilihan, melainkan keharusan jika kita ingin Aceh melompat lebih jauh.

Kita juga harus memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang. Keadilan ekonomi menjadi kunci agar perdamaian tetap kokoh. Tidak boleh ada jurang yang lebar antara pusat dan daerah pinggiran, antara kota dan desa, antara mereka yang memiliki akses terhadap modal dan mereka yang tidak. Program pemberdayaan usaha kecil, akses pembiayaan yang mudah, serta pendampingan yang berkelanjutan harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan.

Perdamaian adalah hadiah yang mahal. Kita telah membayarnya dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Oleh karena itu, jangan sampai kita lalai mengisinya dengan hal-hal yang bermakna. Ekonomi yang tumbuh, lapangan kerja yang melimpah, dan kesejahteraan yang merata adalah cara terbaik untuk menjaga dan merawat perdamaian.

Baca juga: Jelang 20 Tahun Damai Aceh, Waled NU: Perdamaian Jangan Ada Langkah Surut

Di momen 20 tahun perdamaian ini, saya mengajak semua pihak untuk menyalakan kembali semangat gotong royong. Mari kita jadikan Aceh sebagai contoh bahwa daerah yang pernah berkonflik bisa bangkit, maju, dan bersaing di tingkat global. Mari kita buktikan bahwa perdamaian dan pembangunan ekonomi adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

Halaman
12

Berita Terkini