Jika tidak memungkinkan lagi diketahui pemiliknya, maka harta tersebut wajib diserahkan kepada qadhi (baitul maal) yang adil untuk dibelanjakan untuk kemaslahatan kaum muslimin yang bersifat umum yang dibolehkan syar’i, seperti membangun mesjid atau lainnya.
Apabila tidak ada kebutuhan maslahah umum maka diserahkan kepada faqir miskin. Namun jika qadhi tersebut bukan orang yang adil maka dengan menyerahkan kepada seorang alim dan adil yang ada di daerah tersebut.
Apabila juga tidak mungkin, maka langsung dikelola sendiri dengan bersadaqah kepada fakir miskin. (Lihat al-Fatawa al-Kubraa al-Fiqhiyah : III/97, karangan Ibnu Hajar al-Haitamiy)
b. Menyesali perbuatan masa lalu, bercita-cita tidak mengulangi lagi, memperbanyak ibadah, seraya meminta ampun kepada Allah Ta’ala dan banyak bersadaqah sunnah selain zakat yang wajib. Karena perbuatan baik yang konsisten akan menghapus keburukan dan dosa masa lalu. Allah berfirman :
إنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
Kebaikan akan menghapus keburukan (QS Hud : 114)
Adapun hasil usaha berupa keuntungan dari modal haram tersebut dapat dirincikan sebagai berikut :
a. Apabila keuntungannya itu berupa anak dari hewan ternak atau buah-buahan dari pohon yang dikuasainya secara haram, maka anak dari hewan ternak dan buah-buahan dari pohon tersebut tetap menjadi milik pemiliknya sebagaimana kepemilikan induknya. (al-Muhazzab II/201)
b. Apabila keuntungan itu hanya berupa bekas pekerjaan, seperti terpotong kain, tertumbuk gandum, maka apabila harga kain dan gandum tersebut lebih tinggi harganya sebab perbuatan tersebut, maka kelebihan harganya itu tetap diperuntukkan hanya untuk pemiliknya. Yang menguasainya wajib mengembalikan barang haram tersebut kepada pemiliknya tanpa meminta dispensasi pekerjaannya. (Tuhfah al-Muhtaj : VI/41)
c. Apabila keuntungannya itu berupa laba dari usaha perniagaan dengan menggunakan modal yang dikuasainya secara haram, maka selama usahanya merupakan usaha yang halal dan akadnya shahih, maka menjadi miliknya dan halal untuknya. Ini sesuai dengan penjelasan al-Khathib al-Syarbaini berikut ini :
كَمَا لَوْ اتَّجَرَ الْغَاصِبُ فِي الْمَالِ الْمَغْصُوبِ فَالرِّبْحُ لَهُ فِي الْأَظْهَرِ
Sebagaimana seandainya orang yang merampas memperdagangkan harta yang dirampasnya, maka keuntungannya menjadi miliknya menurut pendapat yang paling zhahir.(Mughni al-Muhtaj III/363).
Pendapat ini sesuai dengan hadits Nabi SAW berbunyi :
الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ
Keuntungan yang diperolehnya diperuntukkan untuk yang bertanggungjawab. (Hadits shahih riwayat Syafi’i, Ahmad, Abu Daud, al-Nisa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Lihat al-Asybah wa al-Nadhair karangan al-Suyuthi : 135)