Kupi Beungoh

Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh XVI - Kasus PT LMR, dan Prospek 500.000 Hektare Tambang Emas Aceh

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Oleh Ahmad Humam Hamid*)
 
Menurut catatan Walhi (2013), sampai dengan pengumpulan data pada saaat itu, jumlah kawasan tambang emas yang telah  mendapat izin dari pemerintah daerah sekitar 500.000 hektare.
 
Luasan itu tersebar di seluruh Aceh,- terutama di Pidie, Nagan, Raya, Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Tengah, dan Gayo Lues.
 
Jumlah kepemilikan terhadap luasan pada saat itu, tidak kurang dari puluhan perusahaan.
 
Sulit mendapatkan angka luas kawasan potensial emas, dan kepemilikan secara pasti selama sepuluh tahun terakhir.
 
Keterangan tentang luasan kosesi batubara, galena, tembaga, dan besi, dan semen, juga tak kurang jumlahnya.
 
Kita belum tahu lagi, apa sumber mineral lainnya yang masih ada dalam perut bumi Aceh.
 
Manajemen dan pemanfaatan sumber daya alam di berbagai tempat di dunia sangat sering dikaitkan dengan istilah “kutukan”, karena di situlah  bertemunya kekayaan, kekuasaan, ketamakan, dan ketidakadilan.
 
Ketika tiba pada perusahaan yang motifnya adalah mencari keuntungan, sumber daya alam-dalam hal ini tambang adalah uang, dan sumber kekayaan.
 
Karenanya, bagi sebagian pengusaha culas, segala cara dicari, apapun dihalalkan, sehingga kepemilikan atas sumber daya itu didapatkan.
 
Keinginan untuk mendapatkan keuntungan tentu saja sangat berkaitan dengan berbagai aturan dan norma yang berlaku, dan sumbunya berada pada kekuasaan,-dalam hal ini pemerintah.
 
Ketika aturannya bagus, pemerintahannya bersih, maka norma dan berbagai ketentuan hukum dapat berjalan dengan baik.
 
Ketika pemerintah, atas nama negara memberikan hak pengusahaan sumber daya kepada perusahaan, maka itu adalah sesuatu yang benar.
 
Sebaliknya, ketika negara-dalam hal ini pemerintah, berkoalisi dengan korporasi buruk, bahkan cenderung jahat, maka yang terjadi adalah potensi konflik dan ketidakadilan.
 
Pelanggaran aturan, dan penyalahgunaan kewenangan pun terjadi, dan itu adalah induk dari konflik dan ketidakadilan.
 
Perjalanan PT LMR, sebenarnya sangat panjang.
 
Ketika gubernur Irwandi berkuasa, tidak banyak yang dapat dikerjakan oleh PT East Asia Mineral.
 
Apa yang dikerjakan oleh perusahaan ini ketika Gubernur Zaini berkuasa ialah bekerja keras dan sistematis untuk perobahan Rencana Tata Ruang dan Rencana Wilayah Aceh.
 
Publik Aceh tidak tahu banyak pada masa itu ketika DPRA mengajukan perobahan RTRW Aceh yang dimotori oleh komisi D.
 
Upaya East Asia Minerals Corporation yang di bursa saham Toronto, Kanada dikenal  dengan TSX VENTURE:EAST tidak tanggung.
 
Perusahaan itu, dalam laporannya menyebutkan membayar Fadel Muhammad-mantan gubernur Gorontalo, kini anggota DPD, untuk melobi pemerintah pusat dan elemen-elemen strategis Aceh untuk memuluskan perobahan rencana tata ruang Aceh besar-besaran.
 
Seorangpun tidak tahu bagaimana mekanisme East Asia Mineral- via Fadhel Muhammad bekerja.
 
Yang pasti ada advokasi tidak biasa dari DPRA, terutama dari elemen tertentu DPRA yang menyuarakan kepentingan pembangunan Aceh yang harus menomorsatukan perobahan tata ruang untuk kemakmuran rakyat Aceh.
 
Intinya adalah, mengeluarkan status kawasan lindung dimana terdapat potensi tambang emas perusahaan itu.
 
Dari berbagai publikasi yang menaruh perhatian terhadap keberlanjutan penanganan lingkungan Aceh, terlihat nama-nama yang menonjol di DPRA yang bukan tidak mungkin terkait dengan lobby Fadhel Muhammad.
 
Tidak kurang Departemen Kehutanan di Jakarta, yang menentang perobahan tata ruang Aceh yang menuruti hakekat pembangunan lingungan adalah benar, dikalahkan oleh letupan kemarahan oknum-oknum tertentu di instansi terkait yang mengatasnamakan kepentingan rakyat Aceh.
 
Nama-nama oknum dimaksud mudah didapatkan dari jejak digital yang  sampai hari ini masih ada, terutama di media internasional.
 
Hasilnya, perobahan RTRW 2013 Aceh yang tak tanggung-tanggung.
 
Hampir satu juta hektare tata ruang Aceh, umumnya kawasan hutan dialokasikan sebagai kawasan tambang.
 
Uniknya, dalam laporan keuangan tahunannya pada 2010 East Asia Mineral menulis paling kurang ada 5 wilayah lain selain tambang di Abong, Linge yang sekarang menggunakan bendera PT LMR.
 
Lokasi lainnya adalah  Barisan1, Barisan2, dan, Takengon-ketiganya berlokasi di Aceh Tengah.
 
Dua lainnya adalah Miwah dan Tangse yang berlokasi di kabupaten Pidie.
 
Tidak diketahui dengan pasti apa maksud dimasukkannya peta Aceh, berikut dengan peta lokasi tambang, seandainya izin tambang itu bukan dalam penguasaan East Asia Mineral.
 
Pada laporan tahun 2013, perusahaan itu memuat lagi peta Aceh yang di dalamnya ditunjukkan  3 lokasi tambang, di kawasan Krueng Mon yang berjarak 9 kilometer arah Timur Geumpang dengan tiga izin usaha pertambangan IUP 634, IUP 635 and IUP 636.
 
Izin usaha milik PT Miwah Tambang Mas yang sudah berakhir pada tahun 2004, kemudian dimiliki oleh perusahaan lain, yang di dalamnya juga terdapat East Asia mineral.
 
Yang jelas peta dan lokasi potensi tambang emas itu dimuat dalam laporan  tahun 2013.
 
Menurut informasi yang tersedia, pengaturan pada tahun 2007 mengindikasikan ketiga lokasi itu ditangani oleh tiga perusahaan lokal nasional dimana 85 persen saham di setiap perusahaan itu dimilki oleh East Asia Mineral, sedangkan sisanya 15 persen dipegang oleh masing-masing ketiga perusahaan dimaksud.
 
Pada tahun 2009, East Asia Mineral mengumumkan telah menemukan kawasan potensi emas baru di kabupaten Pidie, yang juga berdekatan dengan kawasan inti Miwah.
 
Kawasan itu dinamakan dengan Sipopok yang letaknya berdekatan dengan Miwah.
 
Apa yang telah dan sedang diperjuangkan oleh East Asia Mineral, dengan masuknya kawasan Sipopok adalah meyakinkan para calon investor di bursa saham Vancouver semenjak tahun 2010 tentang prospek potensi jutaan ton emas di kawasan Pidie itu.
 
Dalam laporan tahunannya pada 2013, East Asia mineral menyebutkan  kawasan Miwah sebagai mata rantai dari sabuk emas Sumatera - Jawa Barat, bahkan membentang sampai ke Jawa Tiimur.
 
Hal ini sesuai dengan klaim para ahli geologi yang menyebutkan tentang pertambangan emas dengan istilah Trans Sumatera Fault Zone (TSFZ) yang sangat kaya dengan endapan mineral, termasuk emas, akibat aktivitas magmatisme, di sepanjang Pantai Barat Sumatera, mulai Aceh hingga Lampung yang telah berlangsung jutaan tahun.
 
Peneliti LIPI, Iwan Setiawan (2021) menguraikan sabuk emas itu tak hanya berhenti di Jawa, tetapi terus berlanjut  sampai ke NTB, NTT, hingga ke Maluku.
 
Tidak mengherankan kemudian jika East Asia Mineral dalam laporannya mendeskripsikan sabuk emas itu mulai dari Miwah dan Beutong di Aceh yang bersambungan dengan Martabe, Pungkut, dan Muara Sipongi di Sumut, Tandai dan Lebong di Bengkulu, Way Lingo di Lampung, Cibaliung di Banten, Pongkor dan Jampang, di Jawa Barat, Wonogiri, di Jawa Tengah, dan Tujuh Bukit di Jawa Timur.
 
Dari gambaran sepak  terjang East Asia Mineral di Aceh, mulai dari pengurusan izin tambang via bupati Aceh Tengah, “mendikte” perobahan tata ruang Aceh via DPRA dan gubernur Zaini Abdullah, dan melakukan eksplorasi, kini terlihat strategi  apa  telah, dan sedang dikerjakan oleh  perusahaan itu.
 
Kini, East Asia Mneral telah menemukan partner tangguh, anak perusahaan Bakrie Group- Bumi Mineral Resource-, yang saat ini mempunya izin dan legalitas dari BKPM untuk usahanya di Abong, Linge.
 
Sumber daya alam Aceh, kini sedang diupayakan pengendaliannya di ruang 1021 West Hastings Street, lantai 9, Vancouver, Kanada, di ujung  pulpen East Asia Mineral Corp.
 
Perusahaan itu telah berobah namanya menjadi Baru Gold Corporation, perusahaan manca negara yang berkedudukan di Vancouver Kanada.
 
Perusahaan ini mempunyai partner nasional yang hebat, Bumi Mineral Resources, sebuah perusahaan besar yang jangkauan pengaruhnya relatif kuat ke dalam pemerintahan, tak peduli dengan rezim manapun yang  berkuasa. 
 
Perobahan RTRW Aceh pada masa pemerintahan gubernur Zaini berikut dengan motor komisi D DPRA dapat disebut sebagai penetrasi jilid  1 “pengaturan” sumber daya alam Aceh oleh kekuatan korporasi manca negara.
 
Kini, dalam edisi jilid 2, yang dilakukan adalah pengakuan eksistensi PT. LMR oleh BKPM, dalam hal ini Bahlil Lahadia.
 
Kenapa berani kita menyebutkan sebagai “pengaturan” oleh Baru Gold Corporation?
 
Hal itu terbukti dari publikasi terbuka perusahaan itu kepada pemegang sahammnya, berikut dengan bursa saham Toronto -Vancouver tentang kemampuannya mempengaruhi pemerintah Aceh dan pemerintah pusat.
 
Dengan bangga perusahaan itu menyebutkan telah behasil membujuk pemerintah Aceh untuk melepaskan 1.2 juta hektare lahan hutan untuk dijadikan sebagai lahan tambang, lahan budi daya, berikut sebagian kawasan hutan untuk dijadikan  kawasan HPH.
 
Kontroversi itu tidak diketahui publik, walaupun hampir semua pegiat LSM lingkungan  Aceh dan nasional melancarkan protes besar-besaran.
 
Pengamat dan pegiat lingkungan internasional juga tak kalah serunya meminta pemerintah Aceh untuk membatalkan RTRW dimaksud pada tahun 2013.
 
Namun pemerintah daerah pada saat itu bergeming, tetap bertahan pada pendiriannya.
 
Tidak kurang Kementerian Kehutanan pada awalnya tidak menyetujui RTRW yang diajukan pemerintah, namun pada akhirnya menerima.
 
Penetrasi lanjutan korporasi itu dalam  kebijakan pemerintah kini terlihat sangat nyata.
 
Ketua BKPM Bahlil Lahadia dengan enteng menyebutkan kewenangan pasal 159 IUP oleh Provinsi Aceh untuk pertambangan serta merta berpindah ke pemerintah pusat, karena UU Cipta Kerja dan  dan UU penanaman penanaman modal asing.
 
Pada serial jilid dua “pengaturan” sumber daya alam,- pertambangan di Aceh, Baru Gold Corporation mempunyai mitra kuat nasional, PT Bumi Mineral Resources yang dimiliki oleh Bakrie Group.
 
Tidak hanya itu, kini datang lagi korporasi nasional  yang bahkan lebih kuat yang bergabung dengan PT LMR, melalui pembelian saham yang bernilai triliunan PT Bumi Mineral  Resources.
 
Perusahaan yang dimaksud adalah Group Salim yang dipimpin oleh Anthony Salim dengan penguasaan saham 28,32 persen.
 
Sekalipun Group Bakrie menguasai saham lebih dari Group Salim, spekulasi yang berkembang di luar menyebutkan group Salim sesungguhnya menguasai PT Bumi Mineral Resources dengan perpanjangan tangan lewat Agus Projosasmito yang mempunyai saham 8,83 persen.
 
Apa relevansi penulisan “intervensi kebijakan” perusahaan mancanegara sekelas Baru Gold Corp-sebelumnya East Asia Mineral, dan  berbagai format penguasaan saham pada dua perusahaan raksasa nasional terhadap PT. LMR?
 
Apa pula keterkaitannya dengan gratifikasi tumpangan pesawat jet Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki, dari Banda Aceh ke Jakarta?
 
Kasus PT LMR adalah ujian berat UU no 11/2006 tentang konsistensi pemerintah pusat terhadap kelanjutan perdamaian Aceh.
 
Keberlanjutan skenario besar Baru Gold Corporation, kini tidak lagi pada posisi single fighter untuk eskploitasi emas Aceh.
 
Mereka kini telah menemukan dua mitra raksasa perusahaan nasional-multinasional yang berpeluang “mendikte” kebijakan pemeritah pusat untuk memaksakan Aceh menerima kehadiran PT LMR, sekaligus membuka jalan untuk banyak lagi eksploitasi pertambangan emas dan mineral lainnya, terutama yang dimiliki oleh Baru Gold Corporation- sisa 3 kawasan di Aceh Tengah, dan 4 di kawasan Miwah, Pidie.
 
Suka atau tidak, keberlanjutan PT LMR, sangat tergantung kepada Aceh, utamanya pemerintah daerah, baik eksekutif maupun legislatif.
 
Apa yang terjadi hari ini adalah eksistensi konsesi PT LMR versi BKPM, sama sekali tak mendapat perhatian penting dari DPRA, apalagi dari Gubernur Aceh.
 
Apalagi, kini, seperti ditengarai oleh banyak pihak, DPRA, terutama para elitnya cenderung “bergabung” dengan gubernur dalam berbagai kebijakan  yang dinisiasi oleh gubernur sendiri.
 
Bila hal ini terus berlanjut, kondisi “status quo” PT LMR, pada akhirnya akan menjadi kenyataan sebagai entitas yang sah dan dianggap sejalan dengan perintah UU 11/ 2006.
 
Jika hal ini benar benar terjadi, prahara sumber daya mineral  Aceh  akan bertransformasi menjadi “status kiamat” dari dimensi ekonomi, hukum, politik, dan lingkungan.
 
Dalam konteks inilah gratifikasi tumpangan pesawat jet gubernur Marzuki Banda Aceh-Jakarta menjadi sangat penting untuk ditelusuri.
 
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
 
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
 
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
 

Berita Terkini