Sejak itulah perjuangan Teungku Hasan dimulai tanpa henti hingga perdamaian wujud melalui Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.
Setelah 13 tahun pahit getir perjuangannya seakan telah dilupakan. Malah ironi, ketika ditanya pada Generasi Aceh saat ini, mereka tidak begitu mengenal Hasan Tiro di tambah lagi kajian sejarah Aceh kontemporer tidak menempatkan Hasan Tiro dalam daftar panjang pejuang Aceh.
Apa mungkin dikarenakan ide separatisme yang didengungkan Beliau untuk membebaskan Aceh sehingga membuat orang apatis dan berpikir sinis?
Kalau itu menjadi alasan, penulis ingin menegaskan bahwa Beliaulah sesungguhnya yang telah membuka mata orang Aceh bahkan mata dunia sekalipun bahwa kezaliman wajib dilawan dan keadilan mesti ditegakkan dan secara normatif sekaligus Beliau ingin mengajarkan kepada anak cucunya tentang teori dalam buku filsafat bahwa tujuan kehadiran sebuah “state” dimanapun dan kapan pun hakikatnya adalah untuk memberikan rasa adil bagi rakyatnya, dan itulah yang tidak pernah dirasakan oleh rakyat Aceh.
Yang perlu diingat pula bahwa untuk “membebaskan Aceh” dia rela meninggalkan keluarganya dan segala kemapanan hidup.
Kalau kita dalami benar beberapa catatan dalam bukunya dapat digambarkan bahwa itulah hakikat dari misi hidup beliau yaitu mewujudkan keadilan.
“Saya akan merasa gagal jika tidak mampu mewujudkan hal ini, harta dan kekuasaan bukanlah tujuan hidup saya dan bukan pula tujuan perjuangan ini. Saya hanya ingin rakyat Aceh mendapatkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan dan mampu mengatur dirinya sendiri.”
Nah, pada titik ini atas nama perjuangan Penulis mengajak semua komponen Nanggroe terutama PA/KPA untuk tidak melupakan sosok Teungku Hasan Tiro dengan seluruh cita-cita perjuangan Beliau.
Pertama, perjuangan Aceh idealnya kembali kepada misi awal perjuangan Hasan Tiro yaitu “hudep saree mate sajan”. Maknanya semua kita harus bersatu padu untuk bersama-sama memakmurkan tanah endatu.
Kedua, bercermin dari perjuangan Teungku Hasan Tiro maka perjuangan kita nampaknya tidak boleh berhenti hanya sebatas proyek aspirasi (Pokir) atau Pajero dan Kijang Inova sehingga cita-cita perjuangan Hasan Tiro untuk memakmurkan rakyat tanpa nilai dan hampa makna.
Kalau Penulis boleh menuduh kemakmuran itu baru dirasakan oleh “segelintir” orang saja yang notabenenya punya andil dalam perjuangan dan kaum oportunis---kelompok ini kata endatu punya prilaku “yang gabuk-gabuk cok si-hah yang bagah-bagah cok si-deupa”.
Namun yang perlu diingat seperti kata Hasan Tiro ideologi (meunumat) pembebasan rakyat (dari kemiskinan, keterpurukan, kebodohan dll), hanya boleh terkubur ketika ajal menjemput. Ketiga, untuk perjuangan yang berkelanjutan perlu adanya rekonsiliasi antara semua komponen Nanggroe agar cita cita Teungku Hasan Tiro untuk “membebaskan” rakyat Aceh dapat segera terwujud.
Keempat, Lembaga Wali Nanggroe yang notabenenya sebagai pemersatu dan simbol kekhususan Aceh yang kelahirannya tidak terlepas dari spirit Hasan Tiro idealnya harus berperan meniti jalan mewujudkan cita-cita tersebut.
Kalaulah tidak mampu, maka hari ini Penulis memelas janganlah Tuan-tuan melupakannya. Kepada Allahuyarham Teungku Hasan Muhammad di Tiro; Alfatihah…Allahu ‘Alam.
• Aura Kasih Ungkap Idap Anxiety Disorder, Akui Kehidupannya Terganggu: Rasanya Mau Mati
• VIDEO 20 Mahasiswa URI Amerika Serikat Kunjungi Unigha Sigli