SALAH satu penyakit masyarakat yang paling susah diberan-tas di Aceh adalah kasus narkotika. Pasalnya mereka yang terlibat dalam kasus tersebut terlihat bagai mendapat perlindungan tersendiri dari kalangan masyarakat tertentu.
Perlindungan tersebut juga tidak terjadi begitu saja, tetapi an-tara si bandar narkotika dengan pimpinan struktur masyarakat tertentu bagai ada kondisi yang saling menguntungkan, simbiosis mutualisme. Misalnya, si bandar narkotika berperan aktif mem-beri sumbangan untuk kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, sehingga posisinya terkadang menjadi “pahlawan” bagi masya-rakat tertentu.
Masalah ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, dan se-bagian masyarakat pun seperti tidak peduli. Artinya, jika kelak ada anggota masyarakat yang tartangkap aparat penegak hukum karena terlibat kasus narkotika, maka kondisi itu dianggap hal yang biasa saja alias tidak ada yang memalukan.
Makanya jangan heran jika sampai saat ini ada 1.541 narapi-dana (napi) di Aceh yang tercatat sebagai bandar narkotika. Dan sangat memungkinkan para narapidana tersebut sudah puluhan kali keluar masuk penjara, tetapi kondisi itu sama sekali tidak memberi efek jera bagi yang bersangkutan.
Sebelumnya diberitakan bahwa Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Aceh menyatakan se-banyak 1.541 napi yang menjalani hukum di berbagai lembaga pemasyarakatan (lapas) di Aceh masuk kategori bandar narkoti-ka. “Ada 1.541 narapida masuk kategori bandar narkotika. Dan ini pengadilan yang memutuskan, bukan berdasarkan penilaian kami,” kata Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Ke-menkumham Aceh, Yudi Suseno di Banda Aceh, Rabu.
Ia mengatakan narapidana masuk kategori bandar narkotika de-ngan hukuman di atas 15 tahun. Ada juga 20 tahun, seumur hidup maupun dijatuhi hukuman mati. Menurutnya, narapidana masuk ka-tegori bandar narkotika tersebut menyebar di hampir semua lapas di Aceh. Kecuali di Lapas Sabang dan Lapas Sinabang, karena nara-pidana narkotika di dua penjara tersebut sedikit.
“Kami mewaspadai narapidana bandar narkotika tersebut. Na-rapidana bandar ini memiliki uang dan banyak koneksi di luar la-pas. Jadi, ancamannya tidak hanya dari dalam lapas, tetapi juga dari luar lapas,” katanya.
Di Aceh ada 17 lapas dan satu di antaranya khusus perempu-an. Dari 17 lapas tersebut semuanya dalam kondisi kelebihan daya tampung. Saat ini, narapidana di Aceh mencapai 8.000-an, sedangkan daya tampung hanya 3.865 orang.
“Kelebihan daya tampung mencapai 109 persen. Dari 8.000-an narapidana tersebut, 68 persen di antaranya narapidana nar-kotika. Dari 68 persen tersebut, sebanyak 1.541 narapidana nar-kotika masuk kategori bandar, selebihnya pemakai,” kata Yudi Suseno.
Sementara, kata dia, jumlah petugas lapas juga terbatas. Ter-kadang, petugas lapas juga mendapat ancaman serius, baik dari dalam maupun luar yang ada kaitannya dengan narapidana. An-caman serius juga pernah terjadi di Lapas Narkotika Langsa, di mana ada orang tidak kenal melemparkan granat di rumah dinas kepala lapas beberapa waktu lalu.
Namun, granat tersebut tidak meledak. “Selain itu juga ada penusukan petugas oleh narapidana di Lapas Blangpidie, Abdya. Jadi, dengan kondisi yang ada, kami tetap memaksimalkan peng-amanan dan pengawasan lapas,” kata Yudi Suseno.
Berpijak dari sini, kita berharap agar masyarakat juga tidak memberi tempat kepada bandar narkotika tersebut, meskipun mereka kerap terlibat dalam berbagai kegaiatan sosial kemasya-rakatan. Pemberantasan kasus narkotika harus dilakukan seca-ra bersama-sama, artinya bukan hanya tugas aparat penegak hu-kum samata. Semoga!
POJOK
Asap kebakaran sampah ganggu pengendara di Kuta Malaka
Asap knalpot pengendara juga mengganggu pemilik sampah, tahu?
Sebanyak 1.541 napi di Aceh bandar narkoba, kata pejabat Kanwil Kemenkumham
Takutnya mereka malah rekrut anggota baru di LP, kan?
Pesanan atribut parpol mulai ramai jelang Pemilu
Hati-hati, jika tak terpilih banyak yang tak bayar utang