Oleh: Jafar Insya Reubee*)
Mungkin banyak dari kita, terutama masyarakat Aceh, belum jamek (terbiasa) dengan istilah polusi visual.
Selama ini, kita hanya biasa mendengar istilah polusi udara, dan sesekali membaca tentang polusi suara.
Padahal, sama seperti polusi udara, polusi suara dan polusi visual juga sama-sama mengganggu.
Memang, polusi udara akan langsung berdampak pada kesehatan, misalnya terganggunya pernapasan dan munculnya penyakit kulit atau lainnya.
Tapi, jangan anggap remeh juga tentang polusi suara, misalnya yang ditimbulkan oleh deru mesin pabrik, klakson kendaraan, hingga berisiknya suara mobil dan motor yang memakai knalpot brong.
Itulah polusi suara, meski tidak berdampak langsung pada kesehatan fisik, tapi polusi suara itu bisa mengganggu kenyamanan dan mempengaruhi mental.
Nah, sekarang kita coba ulas tentang istilah yang dalam beberapa tahun ini ramai dibahas di kota-kota besar, yakni polusi visual.
Saya pikir ini penting dibahas oleh para pemangku kepentingan di Banda Aceh yang bercita-cita menjadi smart city atau kota pintar berbasis digital.
“Mencegah lebih baik dari mengobati” begitulah kira-kira kalimat yang tepat untuk menangani polusi visual yang belakangan mulai berjangkit juga di Banda Aceh.
Mau bukti? Mari kita jalan-jalan ke Kota Banda Aceh, atau boleh juga ke kota-kota lain di Aceh.
Susuri jalan-jalan protokol, apa yang paling banyak Anda temukan?
Hampir dipastikan mata kita tidak akan pernah lepas dari terpaan aneka spanduk, billboard, papan nama toko/perusahaan, baliho, hingga poster dan berbagai ukuran yang dipasang di sepanjang jalan.
Tidak hanya di pinggir jalan, tapi terkadang juga sering dipasang di tengah median jalan.
Ini kondisi saat ini atau pada tahun 2023.
Entah bagaimana kondisinya ketika kita memasuki tahun politik di 2024.
Tentu akan sangat sulit bagi kita menemukan tempat di Aceh yang merdeka dari pemandangan tersebut.
Inilah yang oleh para ahli lingkungan disebut sebagai polusi visual.
Tidak berdampak langsung pada kesehatan memang, tapi polusi visual ini akan menimbulkan dampak seperti halnya dampak yang ditimbulkan oleh polusi suara.
Itu baru bicara tentang bertebarannya alat promosi di seantero kota, belum kita bicara tentang tumpukan sampah, saluran air yang tak terurus, hingga coretan-coretan liar dan gedung-gedung yang dibiarkan terbengkalai.
Pada akhirnya, semua ini akan menurunkan pesona Kota Banda Aceh sebagai tujuan wisata.
Baca juga: Ini 5 Jenis Tanaman Hias Indoor yang Bisa Bersihkan Polusi di Dalam Rumah, Perawatannya Juga Minim
Baca juga: Polusi di New Delhi Semakin Parah, Pemerintah India Tutup Sekolah dan Pegawai Bekerja dari Rumah
Antara Bukit Bintang dan Times Square
Lalu apa sih yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh?
Menurut saya, kebijakan yang dilakukan oleh Dewan Bandaraya Kuala Lumpur dalam pemasangan alat promosi atau iklan di kawasan pusat perbelanjaan Bukit Bintang, mungkin bisa menjadi contoh bagi Banda Aceh.
Contoh lain mungkin adalah kawasan Times Square di New York Amerika Serikat.
Tapi untuk contoh kedua ini saya tidak bisa mengulas banyak, karena belum pernah melihat langsung, melainkan hanya melalui video di youtube dan pemberitaan.
Sementara untuk kawasan Bukit Bintang, kayaknya hampir 30 persen atau paling kurang 10 persen masayarakat Aceh sudah pernah melihat langsung.
Bisa dipastikan, hampir semua wisatawan dari Aceh atau Indonesia yang datang ke Malaysia, pasti menyempatkan diri untuk berkunjung ke Bukit Bintang.
Sebagian besarnya memilih berkunjung pada malam hari, bukan siang hari.
Kenapa?
Salah satunya adalah gemerlap lampu dari berbagai iklan digital yang dipasang di dinding berbagai jenis bangunan di kawasan itu.
Memang, solusi ini tidak serta merta menihilkan polusi visual.
Karena pemasangan iklan digital atau digital advertising ini masih memberi dampak paparan cahaya dan menimbulkan budaya konsumtif di masyarakat.
Tapi setidaknya, digitalisasi alat peraga atau iklan ini telah membuat Bukit Bintang atau pun Times Square di New York punya ciri khas, dan mendatangkan banyak wisatawan.
Banda Aceh Boleh
Jika Bukit Bintang bisa, kenapa Banda Aceh tidak boleh?
Jangan bicara Bukit Bintang boleh begitu karena Malaysia negara maju.
Ingatlah, sebagian wilayah Malaysia, mungkin termasuk Bukit Bintang di dalamnya, pada suatu ketika dulu, pernah menjadi bagian dari Kesultanan Aceh Darussalam.
Atau setidaknya pernah meminta bantuan dari Sultan Aceh Darussalam.
Jadi pertanyaannya adalah, kenapa indatu kita dulu bisa, kenapa kita sekarang tidak boleh?
Jadi, salah satu caranya adalah mari kita perdalam ilmu tentang digital agar kita tidak semakin ketinggalan.
Kedua dan paling penting adalah kebijakan dari Pemerintah Kota, terutama Wali Kota dan DPRK Banda Aceh, untuk mentransformasikan baliho, spanduk, dan pamflet manual ini ke digital.
Selain estetik, perangkat digital advertising ini juga bisa memuat banyak iklan dalam sebuah ruang, yang tampilannya berganti-ganti.
Ini tentu akan membuat penggunaan ruang untuk pemasangan alat peraga dan iklan, akan semakin berkurang, dan Banda Aceh akan sedang dipandang mata.
Akhir-akhir ini, beberapa videotron sudah mulai mengudara di titik-titik tertentu kota Banda Aceh.
Kemunculan videotron ini menandakan dimulainya digitalisasi advertising di Banda Aceh.
Informasinya, videotron yang terdapat di Banda Aceh dapat dibagi menjadi dua bagian, komersil dan nonkomersil.
Sedangkan dari sisi customer, yang paling banyak menggunakan jasa videotron adalah pemerintah, perusahaan rokok, otomotif, telekomunikasi, dan perbankan.
Pantulan cahaya dari videotron di tuga Bank Syariah Indonesia (BSI) di Bundaran Lambaro, Lambaro Aceh Besar, seakan memberi tahu pengunjung, “sebentar lagi Anda akan memasuki Kota Banda Aceh yang berbasis digital”.
Tapi ternyata, harapan itu bagaikan “jauh panggang dari api”, karena kondisinya seperti yang saya gambarkan di awal tulisan tadi.
Tapi tunggu dulu, masih ada beberapa titik digital advertising yang estetik di Banda Aceh, seperti di simpang BPKP, Simpang Surabaya, Simpang Kodim, Simpang Lima dan Peunayong, di depan Masjid Raya Baiturrahman, dan beberapa titik lainnya.
Karena tadi saya menyebut Bank BSI yang videotronnya menyambut kedatangan tamu ke Banda Aceh, maka tak elok rasanya jika tidak membahas Bank Aceh Syariah (BAS) yang merupakan tuan rumah di Aceh.
Bank kebanggaan masyarakat Aceh ini ikut mewarna-warnikan kota Banda Aceh dengan videotron yang terletak di lokasi strategis, yakni di Simpang Surabaya, salah satu pusat perekonomian Banda Aceh.
Di ujung tulisan ini, saya membayangkan dua tahun lagi, dengan kebijakan Wali Kota dan DPRK, Banda Aceh akan terbebas dari baliho, spanduk, dan pamplet manual, semuanya beralih ke digital.
Coba saja Anda ke Bukit Bintang atau Jalan Sudirman di Jakarta atau ke Pantai Indah Kapuk (PIK), apakah dibolehkan memasang spanduk, baliho, atau pamplet manual?
Jika pun nekad, Anda pasti akan ditangkap. Kenapa? Anda pasti tahu sebabnya atau carilah tahu sama paman Google.
Lalu bagaimana para caleg jika tidak merasapuas dengan digital advertising yang mencampur banyak iklan di dalam satu ruang?
Atau tidak sanggup membayar jika tampil tunggal?
Anda bisa menggunakan media koran atau media massa berbasis digital (website). Wallahuaklam.
*) PENULIS adalah perantau asal Aceh di Malaysia.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI.