Berita Banda Aceh

Perludem Sebut Potensi Kerawanan Pemilu Lebih Besar di Aceh

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pembina Perludem, Titi Anggraini

Pernyataan ini disampaikan kepada awak media usai acara "Workshop Pengawasan Partisipatif Menuju Sukses Pemilihan Umum Tahun 2024” di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh. 

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut semua daerah memiliki potensi kerawanan pemilu.

Khusus di Aceh, potensi kerawanan lebih besar dibanding daerah lain.

"Kalau dari sisi kerawanan sebenarnya hampir semua daerah punya potensi kerawanan serupa. Tapi memang khusus untuk Aceh ada beberapa hal yang perlu diperhatikan," kata Pembina Perludem, Titi Anggraini, kepada Serambinews.com, Selasa (11/7/2023).

Pernyataan ini disampaikan kepada awak media usai acara "Workshop Pengawasan Partisipatif Menuju Sukses Pemilihan Umum Tahun 2024” di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh. 

Pertama, potensi kerawanan seperti soal kompleksitas teknis yang bisa mempengaruhi profesionalisme dan integritas penyelenggara.

"Kan kita tahu pemilu yang akan datang itu akan menghadapi tantangan beban kerja yang besar," katanya.

Baca juga: Kakanwil Semangati Kontingen MQK Nasional Aceh di Jawa Timur, Ini Pesan Azhari untuk Peserta

Disaat yang sama juga terjadi proses penyelenggaraan tahapan yang harus menyesuaikan antara aturan yang berlaku secara umum dalam konteks Aceh.

"Apalagi Aceh jumlah partai politiknya lebih banyak karena ada partai lokal. Lalu jumlah calegnya, persentasenya lebih besar. Berarti akan ada tambahan beban kerja bagi petugas penyelenggara Pemilu dan juga bagi pengawas Pemilu," imbuhnya.

Kompleksitas teknis dan beban kerja yang lebih menantang daripada daerah lain harus direspon dengan persiapan optimal, memastikan kapasitas dan kompetensi petugas, sehingga mereka mampu beradaptasi dengan beban kerja yang mereka hadapi.

Kedua, sambungnya, soal praktik jual beli suara.

"Kita tahu bahwa proses itu tidak lepas dari penyelenggaraan Pemilu di Aceh. Karena kompetisi yang kompotitif dan partai politik yang banyak, calegnya banyak, itu menimbulkan dorongan untuk melakukan tindakan pragmatis," terang Titi Anggraini.

Menurutnya, konsekuensi dari kompetisi yang sangat bersaing memicu tindakan-tindakan yang mendotong orang untuk melakukan hal-hal yang ilegal.

Baca juga: Ngaku Butuh Uang untuk Bayar Cicilan Sepmor Kredit Pacar, Pemuda di Langsa Timur Ini Nekat Mencuri

Terutama jual beli suara, termasuk juga intimidasi.

"Ini yang menurut saya jika belajar dari praktik pemilu dan pilkada lalu, jangan sampai kemudian pemilih takut menggunakan hak pilih sesuai dengan apa yang dia yakini, karena ada tekanan baik tekanan kekerasan verbal ataupun kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum kepada pemilih," katanya.

Menurutnya, dengan bertambahnya parpol di Aceh, parnas 16 dan parlok 6, Tati menduga kompetisinya makin kompetitif, makin ketat, dan secara alamiah kompetisi yang kompetitif dan ketat itu akan memicu potensi atau godaan untuk melakukan tindakan pragmatis.

"(Pemilu) 2024 tidak akan mudah bagi parpol baik naional maupun lokal untuk berkompetesi di Aceh. Lagi-lagi kalau belajar dari sebelumnya, soal jual beli suara, intimidasi, integritas penyelenggara pemilu itu masih menjadi Pekerjaan Rumah untuk pemilu di Aceh," lanjutnya.

Terakhir potensi polarisasi di tengah keterbelahan akibat pencalonan presiden, ini juga harus diantisipasi. Supaya pemilu legislatif tetap mendapatkan perhatian dan atensi yang sama dengan pilpres.

"Termasuk bagaimana publik memastikan penyelenggaraan pemilu legislatif tetap diawasi dan betul-betul menempatkan pemilu legislatif sebagai hal yang sama pentingnya seperti pemilu presiden," terang dia. (*)

Baca juga: Buntut Peras Waria Rp 50 Juta, Empat Polisi Polda Sumut Dihukum Pembinaan Rohani Sebulan

Berita Terkini